Jumat, 11 Januari 2019

CERPEN//Nuansa & Teduh


Nuansa & Teduh

            Halo, namaku Teduh. Nama yang unik bukan? Ibuku bilang, nama itu secara tidak langsung muncul dibenak ibu saat aku terlahir kedunia ini, tujuh belas tahun yang lalu. Mataku menatap ibu begitu teduh, makanya ibu dan ayah sepakat untuk menamaiku Teduh Putri Irawan. Tidak perlu kujelaskan mungkin kalian sudah paham, nama belakangku berasal dari nama Ayah. Lagipula sudah umum bagi orangtua menyelipkan nama mereka pada nama anak-anaknya. Sudahlah mungkin cukup untuk membahas namaku saat ini, karena yang lebih penting adalah bagaimana aku berangkat sekolah!
            Nol Tujuh Titik Nol Lima. “Ah sial!” Gerutuku setelah melirik jam dilayar Smartphone. Mengapa bisa-bisanya si Angsa telat menjemputku kali ini. Sudah tau jam pertama adalah mata pelajaran Bu Betty, habislah aku. Si Angsa, lebih tepatnya Nuansa, dia adalah temanku sejak aku masih memakai singlet kalau keluar rumah, sampai sekarang saat aku sudah sedikit bergaya anggun dan diam-diam sering mencoba berbagai alat Make-Up Ibu. Akan tetapi aku lebih suka memanggilnya Angsa, tidak tahu kenapa. “Lebih simple!” jawabku jika ditanya.
“hoi! Lo nggak mau sekolah? Malah melamun”
“enak aja! Siapa juga yang ngelamun. Gue lagi mikirin gimana caranya ngehukum elo. Karena udah telat banget jemputnya, gue nggak mau yaa kalau sampai dihukum Bu Betty.”
Huh, udah nongol aja ternyata ini manusia. Sebenarnya memang aku sempat ngelamun sih tadi. Habisnya, dia lama pakai banget. Untung sayang! Eh, maksudnya sahabat. Hehe.
“tenang aja, paling Bu Betty bilang gini DENGAN KEKUTAN BULAN, AKU AKAN MENGHUKUM MU”
“ha-ha-ha lucu! Durhaka lo, nyamain bu Betty dengan Sailormoon, udah ah buruan. Entar lagi udah mau masuk.” Umpatku dan langsung naik ke motor yang katanya “kesayangan” dia ini. Entahlah aku pun tak tahu seberapa sayangnya dia pada motor pemberian orangtuanya saat merayakan ulang tahun yang ke tujuh belas beberapa bulan yang lalu. Aku masih ingat, sanking senangnya sampai-sampai dia ngajak aku jalan-jalan tiap sore selama seminggu. Dan seperti sekarang dia melarangku diantar ayah, supaya dia saja yang antar-jemput. Orangtuaku sih tidak mempermasalahkan hal ini. Karena kami sudah seperti saudara, mengenal sejak kecil, sudah tahu kekurangan dan kelebihan masing-masing. Haha. Tapi tetap saja, kami harus mengenal batas-batasan dalam pergaulan remaja.
Berbicara tentang Nuansa, dia itu agak lebay memang. Tapi begitulah Nuansa, dengan segala ke-unikannya. Cowok yang menyebalkan, humoris, dan kuakui dia sangat tampan. Makanya aku suka! Eh tapi diam-diam sajalah.

***
            Sore ini, seperti biasa aku lagi mengerjakan tugas sekolah yang tak ada habisnya. Tapi bukannya fokus mengerjakan tugas. Aku malah kepikiran perkataan Angsa tadi pagi saat kami diperjalanan menuju sekolah. Karena hampir telat, kami tidak banyak berbicara. Namun, sesekali aku sempat  meliriknya melalui spion. Gila! Itulah kata pertama yang muncul saat aku memperhatikannya. Bagaimana tidak, Angsa senyum-senyum sendiri.
“hellooo, Nuansa anaknya Tante Windy. Lo udah ga waras ya? Senyum-senyum gitu” dengan sengaja gue memecah keheningan yang cukup berlangsung lama itu. Sejujurnya aku sangat cerewet, mana tahan kalau harus mingkem sepanjang perjalanan.
“aih, bisa nggak sih. Lo itu diem sebentar aja.” Sahutnya kesal.
“yaa habisnya lo diam-diam aja, terus tiba-tiba senyum gajelas. Kali aja saraf lo ada yang putus” ketusku.
“lo nggak ngerti sih, orang lagi kasmaran.” Dapat aku lihat sejelas-jelasnya, Angsa tidak sengaja mengucapkan kalimat itu. Keceplosan! Ya, dia keceplosan. Terbukti dengan raut mukanya yang seolah-seolah mengumpat pada diri sendiri. Terlihat kaget dan wajahnya memerah, malu kali ya.
“ciee, seriusan? Lo lagi jatuh cinta? Sama siapa? Kasih tau gue dong. Masa lo main rahasia-rahasian sama sahabat sendiri sih.” Tuh kan, penyakit bawel ku kambuh.
“ah itu, aku bercanda doang. Serius mulu!”
“bohong, kalau bohong aku nggak mau diboncengin lagi”
“eh iya iya. Gitu amat. Kan gue udah janji sama bokap lo buat antar-jemput. Bisa-bisa gue di interogasi kalo gak jemput lo lagi.”
“buruan ceritaa”
“nggak sekarang juga lah, udah mau sampe ini”
“oke, besok yaa, di kantin. Jam istirahat pertama”
“serah lo deh”
Padahal di Sekolah aku biasa-biasa saja. Tapi sekarang aku justru kepikiran. Senang karena sudah mengetahui bahwa Angsa lagi kasmaran. Tapi aku sedih dan takut. Memangnya siapa perempuan yang telah berhasil membuat Angsa menaruh hati padanya? Bagaimana kalau bukan aku? Apakah kami masih bisa sama-sama lagi? Mana mungkin seorang perempuan membiarkan kekasihnya mengantar jemput perempuan lain. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa jadinya jika persahabatan kami lenyap begitu saja. Tidak-tidak! Segera kutepis pikiran  buruk itu dengan melanjutkan pekerjaanku. Hmm maksudku, tugas sekolahku.
***
            Pagi ini aku bangun lebih awal, ibu pun tidak harus berteriak seperti biasanya. Bahkan saat ibu mengetuk pintu kamarku saja, aku sudah mandi bahkan sudah melaksanan sholat subuh. Setelah bersiap-siap dengan seragam dan buku-buku pelajaram, aku membuka jendela kamar. Mentari pagi ini terlihat begitu bersinar, seolah sama semangatnya denganku pagi ini. Aku suka suasana pagi, selain udara masih terasa begitu segar, suasananya pun membuat siapa saja bersemangat. Kecuali yang memang suka malas-malasan bangun pagi. Mungkin.
            Selesai sarapan dan berpamitan dengan ayah ibu, aku menunggu Angsa diteras rumah. Aku yakin hari ini dia tidak telat, karena sebetulnya dia memang tidak pernah telat. Perlu diketahui, selain tampan, Nuansa sangatlah rajin dan sangat menghargai waktu. senakal-nakalnya dia, tapi hanya sebatas wajar sebagai remaja. Menurutku. Seperti kemarin, dia telat karena sempat bergadang keasyikan main game online, katanya beralasan. Setelah kuceramahi habis-habisan, dia pun berjanji sambil cengengesan untuk tidak begitu lagi. Ya walaupun aku tidak terlalu percaya dengan janjinya itu, setidaknya dia sedikit patuh. Makanya aku suka! Duh, aku tidak tahu itu sudah kalimat yang keberapa kalinya. Beginilah aku, dengan segala kekagumanku. Tak lama kemudian Angsa pun datang, lalu kami berangkat. Tidak perlu kuceritakan, karena perjalanan kami ke Sekolah hanyalah diisi canda, tawa, ejekan, dan sesekali keheningan jika kami sedang lapar atau tidak sempat sarapan.
“kriiiiingggg” anggap saja itu bunyi bel saat jam istirahat, karena aku yakin setiap sekolah pasti berbeda ‘kan?
            Waktu yang aku tunggu-tunggu pun sudah tiba, saatnya ke kantin dan menginterogasi Angsa dengan pertanyaan yang sudah aku pikirkan sedari tadi. Bukannya aku tidak serius saat belajar dikelas, hanya saja sesekali terlintas pertanyaan-pertanyaan yang akan aku ajukan. Setelah memesan minuman supaya tidak bosan menunggu Angsa yang teramat sangat lama, aku pun langsung menuju tempat duduk yang paling pojok. Biar enak aja gitu ngobrolnya. Mataku tertuju pada segerombolan cowok, lebih tepatnya Angsa dan dua teman sekelasnya. Aku kenal, Rendi dan Bagas. Aku sengaja melambaikan saat melihat mereka celingukan.
“eh Teduh, kamu diajak Nuansa juga ternyata” ujar Rendi tiba-tiba.
“hah diajak?” sahutku heran, perasaan aku yang ngajak Angsa deh kesini.
“iya diajak. Katanya Nuansa mau kenalin seseorang ke kita. Katanya sih ketemuan disini. Ya ‘kan Sa?” tanya Bagas melanjutkan ucapan Rendi barusan.
Entah mengapa melihat raut muka Angsa yang sulit diartikan membuatku sedikit kecewa. Bukannya menjelaskan, dia malah mengajak temannya untuk segera duduk. Jadi sebenarnya Angsa kesini bukan untuk menemuiku? Ternyata dia sudah janjian dengan “seseorang” tersebut. Makanya dia mengajak teman-temannya. Bodohnya kamu Teduh, sudah tahu tadi malam kepikiran hal ini. Kenapa masih maksa Angsa untuk cerita. Padahal, semalam aku sudah berusaha agar feeling ini tidak benar. Ternyata Nuansa tidak punya perasaan apapun terhadapku. Hanya teman. Yaa sebatas teman. Terlalu menyakitkan memang jika sudah terlanjur menaruh harapan.
“emm, gue, gu-e duluan ya. Lupa! Ternyata tadi gue udah janji sama Mitha ke perpus” ucapku spontan saat mendengar penuturan Bagas tanpa menunggu penjelasan dari Angsa yang terlihat hendak menahan. Ah! Jangan berharap melulu Teduh.
            Disepanjang koridor aku berusaha tenang, tidak menangis. Jelas saja, aku tidak sebodoh itu kok. Menangis karena hal sepele yang belum pasti. Suatu kebetulan yang Indah, aku melihat Mitha juga berjalan ke arahku.
“eh Mith, mau kemana?”
“ke perpus, nyari buku untuk tugas karya ilmiah yang tadi ditugasin pak Mus”
“kalau gitu gue juga ikut dong. Sekalian nyari juga, biar nggak keburu deadline” akhirnya, aku nggak jadi dosa karena udah bohong ke Angsa. Toh aku beneran ke perpustakaan bareng Mitha.
            Setiba di Perpustakaan, kami langsung mencari referensi untuk membuat karya ilmiah. Seperti biasa, tugas memang tak ada habisnya selama status masih jomblo pelajar. Disela-sela mencari buku, aku menyempatkan bertanya pada Mitha. Mitha salah satu sahabatku dikelas. Jadi dia cukup tahu banyak tentangku dan Angsa.
“Mith, lo tahu kan perasaan gue selama ini pada Angsa?”
“Nuansa?”
“iyaa”
“iya tahu, lalu kenapa?”
“jadi, kemarin itu Angsa keceplosan bilang kalau dia lagi jatuh cinta sama seseorang. So, gue kepo dong. Selain senang gue juga sempat ke-geer-an. Tapi itu semua musnah gitu aja tanpa penjelasan”
“maksudnya? Lo jelasinnya yang bener dong, gue nggak ngeh nih.”
“duh, jadi gini. Setelah gue tahu hal itu, gue langsung minta dia kasih tau siapa orang yang dia suka. Dan dia janji supaya cerita hari ini ke gue. Tepatnya saat ini jam istirahat pertama”
“lah, terus kenapa jadinya ikut ke Perpus”
“sebenarnya tadi gue udah ketemu Angsa di Kantin, gue pikir dia mau jelasin. Tapi dia malah ngajak temen sekelasnya, Rendi dan Bagas. Lo kenal kan. Nah, mereka bilang kalau diajak Angsa buat ketemu sama orang itu, cewek yang disukai Angsa. Berarti dia lupa sama janjinya, bukannya jelasin ke gue malah ngajak ketemuan itu cewek sama teman-temannya”  “kan gue kesel” jelasku pada Mitha panjang lebar.
“ooh gue ngerti sekarang, jadi lo pergi gitu aja, tapi denger penjelasan sebenarnya dari Nuansa?. Kebiasaan deh lo, pendek amat pikirannya.” Ucap Mitha yang langsung aku bantah.
“ yaa gue kesel aja Mith. Tau deh, mood gue tiba-tiba berantakan aja tadi”
“hmm, kalo gue jadi elo sih, nggak akan pergi gitu aja. Simple pun masalahnya”
“sudahlah Mit, malas juga lama-lama bahas itu. Keknya lebih pusing dari tugas pak Mus”
“hahaha, ternyata lo bisa galau juga”
“iih ngeledek aja. Ngalamin hal yang sama baru tau rasa”
“nyumpahin sahabat sendiri  nih?”
“nggak, doain doang kok”
“jahat lo Teduh anaknya pak Irawan”
Dan akupun memilih diam.
***
            Jika tadi pagi aku begitu semangat, malam ini justru aku sungguh malas. Untung saja tugas pak Mus tidak dikumpul besok. Jadi aku bisa menundanya dulu. Bukan aku banget sih sebenarnya, aku paling tidak suka menunda tugas. Angsa saja bisa aku maki kalau sempat-sempatnya menganggu weekend-ku untuk membantunya mengerjakan tugas yang sudah deadline. Tuh kan! Kena ingat dia lagi sih. Ayolah Teduh. Jangan pikirkan orang yang saat ini justru memikirkan orang lain. Segera kutarik selimut dan segera tidur, kuharap aku mimpi indah malam ini.
            Pagi ini kembali dengan rutinitasku, menunggu Angsa diteras. Setelah aku pikir-pikir betapa bodohnya aku kemarin. Berlalu begitu saja, tanpa menunggu penjelasan dari Angsa. Akhirnya pagi ini aku sedikit semangat. Sedikit memang. Tapi setidaknya lebih semangat dari semalam. Aku berencana meminta Angsa bercerita kepadaku nanti saat diperjalanan menuju Sekolah.
“Pagiii anaknya Tante Windy” sapaku dengan semangat.
“lo hobi banget keknya nyebut nama Ibu gue”
“lah, kan elo memang anaknya Tante Windy, berarti gue ngga salah dong. Dan lo-”
“sudahlah, pagi-pagi udah cerewet lo. Tapi gue suka!” ujar Angsa memtong ucapan gue. Tunggu-tunggu kalimat terakhir itu, maksudnya apa? Dan raut wajah Angsa, sama seperti yang gue lihat di Spion dua hari yang lalu.
“Tapi gue suka sama seseorang, maksudnya hehe” terdengar nggak nyambung, tapi kalimat barusan cukup membuyarkan kebingunganku seketika. Oke baiklah, sepertinya tanpa aku minta, Angsa akan menepati janjinya untuk bercerita”
Dan sekarang kami sudah setengah perjalanan, aku benci situasi ini. Diam. Hening banget. Bukan aku banget.
“katanya lo mau cerita ke gue” aku berusaha memulai pembicaraan.
“ooh, lo masih penasaran aja ternyata” katanya dengan gaya sok  misterius. Jujur aku kurang suka Angsa yang begini. Nggak ada humorisnya sedikitpun. Biasanya juga asik banget diajak ngobrol. Apa aku nggak terima ya kalau dia benar-benar jatuh cinta sama perempuan lain.
“iih sejak kapan sih lo tertutup gini sama gue. Mentang-mentang lagi jatuh cinta. Main rahasia-rahasian, biasanya juga apa-apa lo cerita. Kucing tetangga melahirkan aja lo cerita ke gue” ya ampun, aku bahkan nggak bisa ngontrol kata-kata sekarang.
“ha-ha santai kali Duh, iya-iya ini mau cerita.” Angsa terdiam sejenak, kemudian melanjutkan omongannya.
“sebenarnya kemarin itu gue hampir nembak itu cewek, sok-sok-an ngajak Bagas sama Rendi biar langsung dikenalin gitu. Eh taunya gagal karena ulah mereka. Lo juga, kenapa kemarin langsung neyelonong gitu aja?” Angsa mendelik kearah gue, hmm ralat! Ke arah spion yang ada muka-gue maksudnya.
“kan gue udah bilang sih, mau ke Perpus” ketusku membela diri.
“lagian apa urusannya coba sama gue, mau gue ada atau nggak ‘kan nggak ngaruh?” aku melanjutkan.
“ya jelas ngaruh lah, elo kan sahabat gue dari zaman pake sepeda yang roda belakangnya 3. Sampai sekarang gue punya motor kesayang. Jadi lo juga harus tau kisah cinta gue. Eaa.”
“ga penting!”
“ohya setelah gue pikir-pikir kemarin itu emang terlalu cepat sih gue ambil keputusan untuk nembak tu cewek. Tanpa ada persiapan apa-apa, modal yakin doang gue mah.”
“terus?”
“jadi gue berencana untuk ngajak dia ketemuan di Taman aja. Tapi lo ikut yaa, gue mau lo jadi saksi kisah cinta gue. Tenang aja, gue nggak nyuruh-nyuruh lo kok. Semuanya gue udah atur.” Kelihatan banget Angsa begitu semangat menjelaskan.
“iya, kalau gue nggak sibuk.”
“sok sibuk lo ah”
“yee kan kali aja, emang kapan?”
“gue yakin lo nggak sibuk, hari Minggu. Gue udah hapal aktivitas sehari-hari lo yang paling mager ngapa-ngapain di hari Minggu. Bener ‘kan?”
Aku hanya mengangkat bahu. Tidak yakin. Mana sanggup aku melihat itu semua. Tunggu-tunggu, Angsa tadi bilang apa? Hari Minggu? Dua hari lagi dong? Itu artinya dua hari lagi aku harus siap menerima kenyataan untuk tidak lagi sedekat ini dengan Angsa. Bagaimanapun juga, aku ini seorang perempuan. Dan aku paham bagaimana rasanya melihat pacar sendiri dekat-dekat dengan perempuan lain. Sekalipun sahabatnya sendiri. Tidak-tidak, aku tidak mau dianggap perusak oleh kekasih Angsa nantinya.
            Hari-hari berikutnya aku lalui seperti biasanya. Hanya saja, aku berusaha sedikit menjauh dari Angsa. Paling tidak, supaya aku terbiasa nantinya. Aku juga sekarang tidak diantar jemput oleh Angsa. Bukan karena dia tidak mau. Hanya saja aku yang beralasan, bahwa ayah tidak mau kami menjadi bahan gunjingan tetangga jika tiap hari lalu lalang berboncengan seperti itu. Padahal siapa yang peduli coba? Hidup di Perumahan yang orang-orangnya yang kurang bersosialisasi. Jujur saja, mungkin tetangga rumah saja, aku tidak begitu kenal semua. Entahlah, masuk akal atau tidak, tapi ini yang terbaik menurutku. Untung saja Angsa nurut saja. Ya dia memang begitu, sangat patuh. Duh, masih sempat-sempatnya aku kagum.
            Hari ini begitu membosankan. Selain karena guru sejarah yang asik bercerita tentang zaman dahulu kala. Aku pun tidak fokus, pikiranku melayang jauh keluar sana. Lagian gimana aku bisa move-on coba, kalau sekarang aja pembahasannya masa lalu. Oh sejarah! Setelah itu seperti biasa kami ditugaskan untuk mencatat. Tidak banyak sih, tapi lumayan membuat tanganku pegal. Tanpa sadar aku menumpahkan isi hatiku di buku catatan, sanking nggak sadarnya entah sudah berapa baris aku menulis. Nggak pernah rasanya aku serajin ini. Ewh.
Pulang sekolah aku berpapasan dengan Angsa.
“Teduh. Hoii” dia melambaikan tangan ke arahku. Aku lihat kok Angsa, sejauh apa pun kamu, tetap saja bayang-bayangmu selalu menghantuiku.
“iya kenapa?” tanyaku setelah ia mendekat.
“gue pinjam catatan sejarah dong, tadi soalnya gue kelamaan nyatatnya, keburu usai deh. Lo kan belajar sejarah sesudah kelas gue.”
“nih, jangan lupa balikin”
“iya-iya tenang aja. By the way, lo dijemput nggak? Kalo nggak bareng gue aja”
“gapapa, dijemput kok. Thanks yaa” ya ampun, kok gue kaku gini ya.
***
Sabtu malam, 20.30 WIB. Rumah Nuansa.
“Aku senang berteman dengan kamu, Nuansa. Belum pernah aku mendapat perhatian seperti yang telah kamu tunjukkan padaku selama ini. Aku juga senang mendengar pengakuanmu yang sedang jatuh cinta dengan dia yang sampai saat ini aku tidak tahu siapa. Biarlah aku menjauh untuk sementara. Tenang saja. Kita masih berteman kok, itupun kalau kamu mau. Kita tetap berada dibawah langit yang sama meski berpijak pada tempat yang berbeda. Aku harap kamu bahagia bersama dia. Biarlah aku menjauh dulu. Sampai luka ku benar-benar sembuh dan aku bisa menerima semuanya.”

Aku yang mengagumimu sejak dulu

-Teduh
Satu per satu kata di buku catatan itu dibaca oleh Nuansa. Buku yang tadi siang ia pinjam kepada Teduh. Kenapa bisa begini? Pantas saja ada yang aneh dari sikap Teduh. Benar-benar diluar dugaan Nuansa.
“tuh kan, salah paham” kalimat pertama yang terlontar saat Nuansa selesai membaca tulisan itu. Sepertinya ia salah mengatur strategi. Kalau sudah begini, bisa-bisa persahabatannya dengan Teduh akan sirna. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Seandainya Teduh tahu yang sebenarnya. Ia tidak akan terluka. Nuansa yakin itu.
            Tapi disisi lain Nuansa begitu senang, barangkali ia sudah tahu perasaan Teduh padanya. Dengan begitu, rencananya besok pasti berjalan lancar. Itupun kalau Teduh bersedia datang. Nuansa tidak tinggal diam, dia tidak mau gagal lagi, ia harus memastikan kalau besok Teduh datang ke Taman.
-          Teduh, jangan lupa besok lo harus datang. Kalau nggak, gue kecewa:(
Kira-kira begitulah isi pesan singkat yang dikirim Nuansa kepada Teduh. Sedikit memalukan mengirim emoticon seperti itu. Pikirnya. Tapi tak apalah, karena dia dengan jurus itu ia berharap Teduh benar-benar datang. Kan nggak mungkin ngajaknya pakai rayuan. Mana mempan bagi wanita seperti Teduh. Apalagi yang ngajak adalah Nuansa. Mereka sudah terbiasa berkelahi dengan kalimat-kalimat menusuk tapi tidak dibawa sampai kehati. Gitu sih, kata Teduh.
Tak lama dering pesan masuk pun terdengar. Buru-buru Nuansa membacanya. Senyumya terukir. Kalau saja Teduh melihat senyuman ini, bisa-bisa insomnia nya kambuh.
“Teduh, aku tunggu kamu besok. Di Taman. Semoga.” Batin Nuansa sebelum ia benar-benar terlelap. Sepertinya ia melupakan sesuatu. Tentu saja, catatan sejarah! Sama sekali belum ia salin.

THE END

HUAAA AKHIRNYA ENDING.
Sumpah ini pegel ngetiknya, kehabisan ide juga :( lama tidak menulis ternyata perbendaharaan kata jadi berkurang. Sekarang jadi susah banget ngumpulin ide untuk nulis cerita pendek. Sebenarnya endingnya nggak gini. Tidak gantung. Jalan cerita sedikit melenceng dari rencana awal. Tapi nggapapa lah yaa. Setidaknya aku mencoba produktif selama liburan. Paling tidak supaya blog ini nggak berdebu.
Sebelumnya, makasih banget untuk teman-teman yang mampir ke blog ini. Sejujurnya aku ini masih belajar. So, ini salah satu cara aku supaya mengasah kemampuan menulis, dan memiliki banyak perbendaharaan kata. Semoga puisi maupun cerita-cerita ku bisa menghibur kalian semua yaa:)
           








0 komentar:

Posting Komentar

:)