Nuansa &
Teduh
Halo, namaku Teduh. Nama yang unik
bukan? Ibuku bilang, nama itu secara tidak langsung muncul dibenak ibu saat aku
terlahir kedunia ini, tujuh belas tahun yang lalu. Mataku menatap ibu begitu
teduh, makanya ibu dan ayah sepakat untuk menamaiku Teduh Putri Irawan. Tidak
perlu kujelaskan mungkin kalian sudah paham, nama belakangku berasal dari nama
Ayah. Lagipula sudah umum bagi orangtua menyelipkan nama mereka pada nama
anak-anaknya. Sudahlah mungkin cukup untuk membahas namaku saat ini, karena
yang lebih penting adalah bagaimana aku berangkat sekolah!
Nol Tujuh Titik Nol Lima. “Ah sial!”
Gerutuku setelah melirik jam dilayar Smartphone. Mengapa bisa-bisanya si Angsa
telat menjemputku kali ini. Sudah tau jam pertama adalah mata pelajaran Bu
Betty, habislah aku. Si Angsa, lebih tepatnya Nuansa, dia adalah temanku sejak
aku masih memakai singlet kalau keluar rumah, sampai sekarang saat aku sudah
sedikit bergaya anggun dan diam-diam sering mencoba berbagai alat Make-Up Ibu.
Akan tetapi aku lebih suka memanggilnya Angsa, tidak tahu kenapa. “Lebih
simple!” jawabku jika ditanya.
“hoi! Lo nggak
mau sekolah? Malah melamun”
“enak aja! Siapa
juga yang ngelamun. Gue lagi mikirin gimana caranya ngehukum elo. Karena udah
telat banget jemputnya, gue nggak mau yaa kalau sampai dihukum Bu Betty.”
Huh, udah nongol
aja ternyata ini manusia. Sebenarnya memang aku sempat ngelamun sih tadi.
Habisnya, dia lama pakai banget. Untung sayang! Eh, maksudnya sahabat. Hehe.
“tenang aja,
paling Bu Betty bilang gini DENGAN KEKUTAN BULAN, AKU AKAN MENGHUKUM MU”
“ha-ha-ha lucu!
Durhaka lo, nyamain bu Betty dengan Sailormoon, udah ah buruan. Entar lagi udah
mau masuk.” Umpatku dan langsung naik ke motor yang katanya “kesayangan” dia
ini. Entahlah aku pun tak tahu seberapa sayangnya dia pada motor pemberian
orangtuanya saat merayakan ulang tahun yang ke tujuh belas beberapa bulan yang
lalu. Aku masih ingat, sanking senangnya sampai-sampai dia ngajak aku
jalan-jalan tiap sore selama seminggu. Dan seperti sekarang dia melarangku
diantar ayah, supaya dia saja yang antar-jemput. Orangtuaku sih tidak
mempermasalahkan hal ini. Karena kami sudah seperti saudara, mengenal sejak
kecil, sudah tahu kekurangan dan kelebihan masing-masing. Haha. Tapi tetap
saja, kami harus mengenal batas-batasan dalam pergaulan remaja.
Berbicara
tentang Nuansa, dia itu agak lebay memang. Tapi begitulah Nuansa, dengan segala
ke-unikannya. Cowok yang menyebalkan, humoris, dan kuakui dia sangat tampan.
Makanya aku suka! Eh tapi diam-diam sajalah.
***
Sore ini, seperti biasa aku lagi
mengerjakan tugas sekolah yang tak ada habisnya. Tapi bukannya fokus
mengerjakan tugas. Aku malah kepikiran perkataan Angsa tadi pagi saat kami
diperjalanan menuju sekolah. Karena hampir telat, kami tidak banyak berbicara.
Namun, sesekali aku sempat meliriknya
melalui spion. Gila! Itulah kata pertama yang muncul saat aku memperhatikannya.
Bagaimana tidak, Angsa senyum-senyum sendiri.
“hellooo, Nuansa
anaknya Tante Windy. Lo udah ga waras ya? Senyum-senyum gitu” dengan sengaja
gue memecah keheningan yang cukup berlangsung lama itu. Sejujurnya aku sangat
cerewet, mana tahan kalau harus mingkem sepanjang perjalanan.
“aih, bisa nggak
sih. Lo itu diem sebentar aja.” Sahutnya kesal.
“yaa habisnya lo
diam-diam aja, terus tiba-tiba senyum gajelas. Kali aja saraf lo ada yang putus”
ketusku.
“lo nggak ngerti
sih, orang lagi kasmaran.” Dapat aku lihat sejelas-jelasnya, Angsa tidak
sengaja mengucapkan kalimat itu. Keceplosan! Ya, dia keceplosan. Terbukti
dengan raut mukanya yang seolah-seolah mengumpat pada diri sendiri. Terlihat
kaget dan wajahnya memerah, malu kali ya.
“ciee, seriusan?
Lo lagi jatuh cinta? Sama siapa? Kasih tau gue dong. Masa lo main
rahasia-rahasian sama sahabat sendiri sih.” Tuh kan, penyakit bawel ku kambuh.
“ah itu, aku
bercanda doang. Serius mulu!”
“bohong, kalau
bohong aku nggak mau diboncengin lagi”
“eh iya iya.
Gitu amat. Kan gue udah janji sama bokap lo buat antar-jemput. Bisa-bisa gue di
interogasi kalo gak jemput lo lagi.”
“buruan ceritaa”
“nggak sekarang
juga lah, udah mau sampe ini”
“oke, besok yaa,
di kantin. Jam istirahat pertama”
“serah lo deh”
Padahal
di Sekolah aku biasa-biasa saja. Tapi sekarang aku justru kepikiran. Senang
karena sudah mengetahui bahwa Angsa lagi kasmaran. Tapi aku sedih dan takut.
Memangnya siapa perempuan yang telah berhasil membuat Angsa menaruh hati
padanya? Bagaimana kalau bukan aku? Apakah kami masih bisa sama-sama lagi? Mana
mungkin seorang perempuan membiarkan kekasihnya mengantar jemput perempuan
lain. Aku tidak sanggup membayangkannya. Apa jadinya jika persahabatan kami
lenyap begitu saja. Tidak-tidak! Segera kutepis pikiran buruk itu dengan melanjutkan pekerjaanku. Hmm
maksudku, tugas sekolahku.
***
Pagi ini aku bangun lebih awal, ibu
pun tidak harus berteriak seperti biasanya. Bahkan saat ibu mengetuk pintu
kamarku saja, aku sudah mandi bahkan sudah melaksanan sholat subuh. Setelah
bersiap-siap dengan seragam dan buku-buku pelajaram, aku membuka jendela kamar.
Mentari pagi ini terlihat begitu bersinar, seolah sama semangatnya denganku
pagi ini. Aku suka suasana pagi, selain udara masih terasa begitu segar,
suasananya pun membuat siapa saja bersemangat. Kecuali yang memang suka
malas-malasan bangun pagi. Mungkin.
Selesai sarapan dan berpamitan
dengan ayah ibu, aku menunggu Angsa diteras rumah. Aku yakin hari ini dia tidak
telat, karena sebetulnya dia memang tidak pernah telat. Perlu diketahui, selain
tampan, Nuansa sangatlah rajin dan sangat menghargai waktu. senakal-nakalnya
dia, tapi hanya sebatas wajar sebagai remaja. Menurutku. Seperti kemarin, dia
telat karena sempat bergadang keasyikan main game online, katanya beralasan.
Setelah kuceramahi habis-habisan, dia pun berjanji sambil cengengesan untuk
tidak begitu lagi. Ya walaupun aku tidak terlalu percaya dengan janjinya itu,
setidaknya dia sedikit patuh. Makanya aku suka! Duh, aku tidak tahu itu sudah
kalimat yang keberapa kalinya. Beginilah aku, dengan segala kekagumanku. Tak
lama kemudian Angsa pun datang, lalu kami berangkat. Tidak perlu kuceritakan,
karena perjalanan kami ke Sekolah hanyalah diisi canda, tawa, ejekan, dan
sesekali keheningan jika kami sedang lapar atau tidak sempat sarapan.
“kriiiiingggg”
anggap saja itu bunyi bel saat jam istirahat, karena aku yakin setiap sekolah
pasti berbeda ‘kan?
Waktu yang aku tunggu-tunggu pun
sudah tiba, saatnya ke kantin dan menginterogasi Angsa dengan pertanyaan yang
sudah aku pikirkan sedari tadi. Bukannya aku tidak serius saat belajar dikelas,
hanya saja sesekali terlintas pertanyaan-pertanyaan yang akan aku ajukan.
Setelah memesan minuman supaya tidak bosan menunggu Angsa yang teramat sangat
lama, aku pun langsung menuju tempat duduk yang paling pojok. Biar enak aja
gitu ngobrolnya. Mataku tertuju pada segerombolan cowok, lebih tepatnya Angsa
dan dua teman sekelasnya. Aku kenal, Rendi dan Bagas. Aku sengaja melambaikan
saat melihat mereka celingukan.
“eh Teduh, kamu
diajak Nuansa juga ternyata” ujar Rendi tiba-tiba.
“hah diajak?”
sahutku heran, perasaan aku yang ngajak Angsa deh kesini.
“iya diajak.
Katanya Nuansa mau kenalin seseorang ke kita. Katanya sih ketemuan disini. Ya
‘kan Sa?” tanya Bagas melanjutkan ucapan Rendi barusan.
Entah
mengapa melihat raut muka Angsa yang sulit diartikan membuatku sedikit kecewa.
Bukannya menjelaskan, dia malah mengajak temannya untuk segera duduk. Jadi
sebenarnya Angsa kesini bukan untuk menemuiku? Ternyata dia sudah janjian
dengan “seseorang” tersebut. Makanya dia mengajak teman-temannya. Bodohnya kamu
Teduh, sudah tahu tadi malam kepikiran hal ini. Kenapa masih maksa Angsa untuk
cerita. Padahal, semalam aku sudah berusaha agar feeling ini tidak benar. Ternyata Nuansa tidak punya perasaan
apapun terhadapku. Hanya teman. Yaa sebatas teman. Terlalu menyakitkan memang
jika sudah terlanjur menaruh harapan.
“emm, gue, gu-e
duluan ya. Lupa! Ternyata tadi gue udah janji sama Mitha ke perpus” ucapku
spontan saat mendengar penuturan Bagas tanpa menunggu penjelasan dari Angsa
yang terlihat hendak menahan. Ah! Jangan berharap melulu Teduh.
Disepanjang koridor aku berusaha
tenang, tidak menangis. Jelas saja, aku tidak sebodoh itu kok. Menangis karena
hal sepele yang belum pasti. Suatu kebetulan yang Indah, aku melihat Mitha juga
berjalan ke arahku.
“eh Mith, mau
kemana?”
“ke perpus,
nyari buku untuk tugas karya ilmiah yang tadi ditugasin pak Mus”
“kalau gitu gue
juga ikut dong. Sekalian nyari juga, biar nggak keburu deadline” akhirnya, aku nggak jadi dosa karena udah bohong ke
Angsa. Toh aku beneran ke perpustakaan bareng Mitha.
Setiba di Perpustakaan, kami
langsung mencari referensi untuk membuat karya ilmiah. Seperti biasa, tugas
memang tak ada habisnya selama status masih jomblo pelajar. Disela-sela
mencari buku, aku menyempatkan bertanya pada Mitha. Mitha salah satu sahabatku
dikelas. Jadi dia cukup tahu banyak tentangku dan Angsa.
“Mith, lo tahu
kan perasaan gue selama ini pada Angsa?”
“Nuansa?”
“iyaa”
“iya tahu, lalu
kenapa?”
“jadi, kemarin itu
Angsa keceplosan bilang kalau dia lagi jatuh cinta sama seseorang. So, gue kepo
dong. Selain senang gue juga sempat ke-geer-an. Tapi itu semua musnah gitu aja
tanpa penjelasan”
“maksudnya? Lo
jelasinnya yang bener dong, gue nggak ngeh nih.”
“duh, jadi gini.
Setelah gue tahu hal itu, gue langsung minta dia kasih tau siapa orang yang dia
suka. Dan dia janji supaya cerita hari ini ke gue. Tepatnya saat ini jam
istirahat pertama”
“lah, terus
kenapa jadinya ikut ke Perpus”
“sebenarnya tadi
gue udah ketemu Angsa di Kantin, gue pikir dia mau jelasin. Tapi dia malah
ngajak temen sekelasnya, Rendi dan Bagas. Lo kenal kan. Nah, mereka bilang
kalau diajak Angsa buat ketemu sama orang itu, cewek yang disukai Angsa.
Berarti dia lupa sama janjinya, bukannya jelasin ke gue malah ngajak ketemuan itu
cewek sama teman-temannya” “kan gue
kesel” jelasku pada Mitha panjang lebar.
“ooh gue ngerti
sekarang, jadi lo pergi gitu aja, tapi denger penjelasan sebenarnya dari Nuansa?.
Kebiasaan deh lo, pendek amat pikirannya.” Ucap Mitha yang langsung aku bantah.
“ yaa gue kesel
aja Mith. Tau deh, mood gue tiba-tiba berantakan aja tadi”
“hmm, kalo gue
jadi elo sih, nggak akan pergi gitu aja. Simple pun masalahnya”
“sudahlah Mit,
malas juga lama-lama bahas itu. Keknya lebih pusing dari tugas pak Mus”
“hahaha,
ternyata lo bisa galau juga”
“iih ngeledek
aja. Ngalamin hal yang sama baru tau rasa”
“nyumpahin
sahabat sendiri nih?”
“nggak, doain
doang kok”
“jahat lo Teduh
anaknya pak Irawan”
Dan akupun
memilih diam.
***
Jika tadi pagi aku begitu semangat,
malam ini justru aku sungguh malas. Untung saja tugas pak Mus tidak dikumpul
besok. Jadi aku bisa menundanya dulu. Bukan aku banget sih sebenarnya, aku
paling tidak suka menunda tugas. Angsa saja bisa aku maki kalau
sempat-sempatnya menganggu weekend-ku
untuk membantunya mengerjakan tugas yang sudah deadline. Tuh kan! Kena ingat dia lagi sih. Ayolah Teduh. Jangan
pikirkan orang yang saat ini justru memikirkan orang lain. Segera kutarik
selimut dan segera tidur, kuharap aku mimpi indah malam ini.
Pagi ini kembali dengan rutinitasku,
menunggu Angsa diteras. Setelah aku pikir-pikir betapa bodohnya aku kemarin.
Berlalu begitu saja, tanpa menunggu penjelasan dari Angsa. Akhirnya pagi ini
aku sedikit semangat. Sedikit memang. Tapi setidaknya lebih semangat dari
semalam. Aku berencana meminta Angsa bercerita kepadaku nanti saat diperjalanan
menuju Sekolah.
“Pagiii anaknya
Tante Windy” sapaku dengan semangat.
“lo hobi banget
keknya nyebut nama Ibu gue”
“lah, kan elo
memang anaknya Tante Windy, berarti gue ngga salah dong. Dan lo-”
“sudahlah,
pagi-pagi udah cerewet lo. Tapi gue suka!” ujar Angsa memtong ucapan gue.
Tunggu-tunggu kalimat terakhir itu, maksudnya apa? Dan raut wajah Angsa, sama
seperti yang gue lihat di Spion dua hari yang lalu.
“Tapi gue suka
sama seseorang, maksudnya hehe” terdengar nggak nyambung, tapi kalimat barusan
cukup membuyarkan kebingunganku seketika. Oke baiklah, sepertinya tanpa aku
minta, Angsa akan menepati janjinya untuk bercerita”
Dan sekarang
kami sudah setengah perjalanan, aku benci situasi ini. Diam. Hening banget.
Bukan aku banget.
“katanya lo mau
cerita ke gue” aku berusaha memulai pembicaraan.
“ooh, lo masih
penasaran aja ternyata” katanya dengan gaya sok
misterius. Jujur aku kurang suka Angsa yang begini. Nggak ada humorisnya
sedikitpun. Biasanya juga asik banget diajak ngobrol. Apa aku nggak terima ya
kalau dia benar-benar jatuh cinta sama perempuan lain.
“iih sejak kapan
sih lo tertutup gini sama gue. Mentang-mentang lagi jatuh cinta. Main
rahasia-rahasian, biasanya juga apa-apa lo cerita. Kucing tetangga melahirkan
aja lo cerita ke gue” ya ampun, aku bahkan nggak bisa ngontrol kata-kata
sekarang.
“ha-ha santai
kali Duh, iya-iya ini mau cerita.” Angsa terdiam sejenak, kemudian melanjutkan
omongannya.
“sebenarnya
kemarin itu gue hampir nembak itu cewek, sok-sok-an ngajak Bagas sama Rendi
biar langsung dikenalin gitu. Eh taunya gagal karena ulah mereka. Lo juga,
kenapa kemarin langsung neyelonong gitu aja?” Angsa mendelik kearah gue, hmm
ralat! Ke arah spion yang ada muka-gue maksudnya.
“kan gue udah
bilang sih, mau ke Perpus” ketusku membela diri.
“lagian apa
urusannya coba sama gue, mau gue ada atau nggak ‘kan nggak ngaruh?” aku
melanjutkan.
“ya jelas ngaruh
lah, elo kan sahabat gue dari zaman pake sepeda yang roda belakangnya 3. Sampai
sekarang gue punya motor kesayang. Jadi lo juga harus tau kisah cinta gue. Eaa.”
“ga penting!”
“ohya setelah
gue pikir-pikir kemarin itu emang terlalu cepat sih gue ambil keputusan untuk
nembak tu cewek. Tanpa ada persiapan apa-apa, modal yakin doang gue mah.”
“terus?”
“jadi gue
berencana untuk ngajak dia ketemuan di Taman aja. Tapi lo ikut yaa, gue mau lo
jadi saksi kisah cinta gue. Tenang aja, gue nggak nyuruh-nyuruh lo kok. Semuanya
gue udah atur.” Kelihatan banget Angsa begitu semangat menjelaskan.
“iya, kalau gue
nggak sibuk.”
“sok sibuk lo ah”
“yee kan kali
aja, emang kapan?”
“gue yakin lo
nggak sibuk, hari Minggu. Gue udah hapal aktivitas sehari-hari lo yang paling
mager ngapa-ngapain di hari Minggu. Bener ‘kan?”
Aku hanya
mengangkat bahu. Tidak yakin. Mana sanggup aku melihat itu semua. Tunggu-tunggu,
Angsa tadi bilang apa? Hari Minggu? Dua hari lagi dong? Itu artinya dua hari
lagi aku harus siap menerima kenyataan untuk tidak lagi sedekat ini dengan
Angsa. Bagaimanapun juga, aku ini seorang perempuan. Dan aku paham bagaimana
rasanya melihat pacar sendiri dekat-dekat dengan perempuan lain. Sekalipun sahabatnya
sendiri. Tidak-tidak, aku tidak mau dianggap perusak oleh kekasih Angsa
nantinya.
Hari-hari berikutnya aku lalui
seperti biasanya. Hanya saja, aku berusaha sedikit menjauh dari Angsa. Paling
tidak, supaya aku terbiasa nantinya. Aku juga sekarang tidak diantar jemput
oleh Angsa. Bukan karena dia tidak mau. Hanya saja aku yang beralasan, bahwa
ayah tidak mau kami menjadi bahan gunjingan tetangga jika tiap hari lalu lalang
berboncengan seperti itu. Padahal siapa yang peduli coba? Hidup di Perumahan
yang orang-orangnya yang kurang bersosialisasi. Jujur saja, mungkin tetangga
rumah saja, aku tidak begitu kenal semua. Entahlah, masuk akal atau tidak, tapi
ini yang terbaik menurutku. Untung saja Angsa nurut saja. Ya dia memang begitu,
sangat patuh. Duh, masih sempat-sempatnya aku kagum.
Hari ini begitu membosankan. Selain karena
guru sejarah yang asik bercerita tentang zaman dahulu kala. Aku pun tidak
fokus, pikiranku melayang jauh keluar sana. Lagian gimana aku bisa move-on coba, kalau sekarang aja
pembahasannya masa lalu. Oh sejarah! Setelah itu seperti biasa kami ditugaskan
untuk mencatat. Tidak banyak sih, tapi lumayan membuat tanganku pegal. Tanpa sadar
aku menumpahkan isi hatiku di buku catatan, sanking nggak sadarnya entah sudah
berapa baris aku menulis. Nggak pernah rasanya aku serajin ini. Ewh.
Pulang sekolah
aku berpapasan dengan Angsa.
“Teduh. Hoii”
dia melambaikan tangan ke arahku. Aku lihat kok Angsa, sejauh apa pun kamu,
tetap saja bayang-bayangmu selalu menghantuiku.
“iya kenapa?”
tanyaku setelah ia mendekat.
“gue pinjam
catatan sejarah dong, tadi soalnya gue kelamaan nyatatnya, keburu usai deh. Lo kan
belajar sejarah sesudah kelas gue.”
“nih, jangan
lupa balikin”
“iya-iya tenang
aja. By the way, lo dijemput nggak? Kalo
nggak bareng gue aja”
“gapapa,
dijemput kok. Thanks yaa” ya ampun,
kok gue kaku gini ya.
***
Sabtu malam,
20.30 WIB. Rumah Nuansa.
“Aku senang
berteman dengan kamu, Nuansa. Belum pernah aku mendapat perhatian seperti yang
telah kamu tunjukkan padaku selama ini. Aku juga senang mendengar pengakuanmu
yang sedang jatuh cinta dengan dia yang sampai saat ini aku tidak
tahu siapa. Biarlah aku menjauh untuk sementara. Tenang saja. Kita masih
berteman kok, itupun kalau kamu mau. Kita tetap berada dibawah langit yang sama
meski berpijak pada tempat yang berbeda. Aku harap kamu bahagia bersama dia. Biarlah
aku menjauh dulu. Sampai luka ku benar-benar sembuh dan aku bisa menerima
semuanya.”
Aku yang mengagumimu sejak dulu
-Teduh
Satu
per satu kata di buku catatan itu dibaca oleh Nuansa. Buku yang tadi siang ia
pinjam kepada Teduh. Kenapa bisa begini? Pantas saja ada yang aneh dari sikap
Teduh. Benar-benar diluar dugaan Nuansa.
“tuh kan, salah
paham” kalimat pertama yang terlontar saat Nuansa selesai membaca tulisan itu. Sepertinya
ia salah mengatur strategi. Kalau sudah begini, bisa-bisa persahabatannya
dengan Teduh akan sirna. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Seandainya Teduh tahu
yang sebenarnya. Ia tidak akan terluka. Nuansa yakin itu.
Tapi disisi lain Nuansa begitu
senang, barangkali ia sudah tahu perasaan Teduh padanya. Dengan begitu,
rencananya besok pasti berjalan lancar. Itupun kalau Teduh bersedia datang.
Nuansa tidak tinggal diam, dia tidak mau gagal lagi, ia harus memastikan kalau
besok Teduh datang ke Taman.
-
Teduh, jangan
lupa besok lo harus datang. Kalau nggak, gue kecewa:(
Kira-kira
begitulah isi pesan singkat yang dikirim Nuansa kepada Teduh. Sedikit memalukan
mengirim emoticon seperti itu. Pikirnya. Tapi tak apalah, karena dia dengan
jurus itu ia berharap Teduh benar-benar datang. Kan nggak mungkin ngajaknya
pakai rayuan. Mana mempan bagi wanita seperti Teduh. Apalagi yang ngajak adalah
Nuansa. Mereka sudah terbiasa berkelahi dengan kalimat-kalimat menusuk tapi tidak
dibawa sampai kehati. Gitu sih, kata Teduh.
Tak lama dering
pesan masuk pun terdengar. Buru-buru Nuansa membacanya. Senyumya terukir. Kalau
saja Teduh melihat senyuman ini, bisa-bisa insomnia
nya kambuh.
“Teduh, aku
tunggu kamu besok. Di Taman. Semoga.” Batin Nuansa sebelum ia benar-benar
terlelap. Sepertinya ia melupakan sesuatu. Tentu saja, catatan sejarah! Sama sekali
belum ia salin.
THE END
HUAAA AKHIRNYA
ENDING.
Sumpah ini pegel
ngetiknya, kehabisan ide juga :( lama tidak menulis ternyata perbendaharaan
kata jadi berkurang. Sekarang jadi susah banget ngumpulin ide untuk nulis
cerita pendek. Sebenarnya endingnya nggak gini. Tidak gantung. Jalan cerita
sedikit melenceng dari rencana awal. Tapi nggapapa lah yaa. Setidaknya aku
mencoba produktif selama liburan. Paling tidak supaya blog ini nggak berdebu.
Sebelumnya, makasih
banget untuk teman-teman yang mampir ke blog ini. Sejujurnya aku ini masih
belajar. So, ini salah satu cara aku supaya mengasah kemampuan menulis, dan
memiliki banyak perbendaharaan kata. Semoga puisi maupun cerita-cerita ku bisa
menghibur kalian semua yaa:)
0 komentar:
Posting Komentar
:)