SOSIOLOGI
PEDESAAN
Pengertian
Sosiologi Pedesaan dan Latar Belakangnya
Banyak sekali ahli mengemukakan definisi sosiologi
pedesaan dengan segala kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Ada pendapat
yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada
kenyataan ada juga desa yang nonpertanian.
Definisi
lain masih menggambarkan desa dengan ideal yang artinya desa secara eksplisit
berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan
mempengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai
berkembang ke arah komunitas kota, di mana adat-istiadat, tradisi atau pola
kebudayaan tradisional desa mengalami proses perubahan.
Pengertian
sosiologi pedesaan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat
sebagai keseluruhan yakni hubungan antara manusia dengan manusia ,manusia
dengan kelompok dan kelompok dengan masyarakat ,baik formal maupun
material , baik statis maupun dinamis. pedesaan berasal dari suku kata desa
yang berasal dari bahasa sansekerta yaitu desi yang berarti
tempat tinggal pengertian desa disini adalah suatu kesatuan masyarakat dalam
wilayah jelas baik menurut suasana yang formal maupun informal. dimana satuan
terkecilnya terdiri dari keluarga yang mempunyai wilayah dan otonomi sendiri
dalam penyelengaraan kehidupan dan keterikatan antara keluarga keluarga dalam
kelompok masyarakat terjadi sebagai akibat adanya unsurpenguat yang bersifat
religius, tradisi dan adat istiadat.
Howard
Newby mengatakan bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan
pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh
kapitalisme modern yang masuk ke desa.
Latar
belakang munculnya spesialisi sosiologi pedesaan karena permasalahan sosial
yang timbul di desa di Amerika Serikat, yaitu datangnya para migran dan
mengambil tanah yang tak bertuan serta mulai berkembangnya era industrialisasi
di Amerika Serikat.
Desa,
Latar Belakang Umum Empirik Dan Teoritik
Kehadiran
Desa, Penjelasan Empirik Umum
Secara umum sering kali terdapat persepsi yang salah
tentang keberadaan masyarakat desa, di mana masyarakat desa cenderung dipandang
rendah. Padahal kenyataannya masyarakat desa mempunyai peranan yang penting
dalam sejarah pembentukan dan perkembangan peradaban masyarakat manusia.
Sebelum
dikenal kegiatan bercocok tanam yang merupakan cikal bakal terbentuknya
komunitas masyarakat desa, maka sejarah kehidupan manusia secara umum mengalami
proses perkembangan yang sangat lamban. Sekitar 1.990.000 tahun mereka
menjalani kehidupan yang sangat bersahaja dengan sistem mata pencaharian food
gathering economics (berburu, meramu, dan menangkap ikan).
Sifat
mata pencaharian semacam ini kurang memungkinkan mereka untuk saling
berhubungan dan menjalin kerja sama secara teratur dan permanen karena mereka
harus selalu berpindah (mobil) mengikuti pola kehidupan binatang buruannya.
Pola kehidupan mereka ini lebih menunjukkan pada bentuk pra-masyarakat, artinya
belum mencerminkan kehidupan bermasyarakat yang teratur dan permanen.
Dikenalnya
kegiatan bercocok tanam sekitar 10.000 tahun yang lalu telah mengubah keadaan
yang ada. Sifat tanaman yang
terikat pada tempat (imobil) dan waktu telah memaksa orang untuk menetap.
Biasanya mereka menetap pada tempat-tempat tertentu, yaitu di tempat-tempat
yang subur seperti di tepi-tepi sungai dan danau, sehingga terjadilah
pengelompokan. Di dalam pengelompokan ini terjadilah hubungan yang teratur di
antara mereka.
Selanjutnya
dalam kondisi ini terciptalah akumulasi simbol-simbol yang merupakan awal dan
landasan bagi perkembangan peradaban manusia. Kegiatan bercocok tanam juga
menandai lahirnya fenomena desa sebab desa dalam pengertian pokoknya berarti
tempat menetap dan bermukim dari sekelompok orang yang memiliki ketergantungan
terhadap suatu tempat.
Latar Belakang
Teoritik Studi Pedesaan
Masyarakat desa sering kali dipahami dalam keterkaitannya
dengan kegiatan pertanian. Akan tetapi hal tersebut tidak cukup memadai, sebab
kita juga harus mengaitkannya dengan konteks perubahan dan perkembangan dunia
karena desa juga merupakan bagian integral dari kehidupan dunia.
Agar
mampu memahami desa dengan segala dinamikanya maka dibutuhkan teori atau
perspektif (wawasan) sebagai kerangka berpikir. Dalam hal ini desa
setidak-tidaknya dapat dijelaskan dari teori-teori tentang perubahan dan
perkembangan sosial masyarakat.
Teori
yang dapat dipakai untuk menjelaskan fenomena desa adalah teori dari ilmu-ilmu
sosial termasuk di dalamnya teori sosiologi.Teori sosiologi yang digunakan
adalah yang mengacu pada teori evolusi sosial dari Herbert Spencer, yang
merupakan turunan dari teori evolusi biologi Charles Darwin.
Teori
evolusi sosial ini berusaha menjelaskan fenomena desa sebagai proses perubahan
dan perkembangan masyarakat dari yang masih bersahaja menuju masyarakat yang
kompleks.
Ternyata
teori evolusi sosial yang bersifat umum tersebut tidak cukup memadai untuk
dapat menjelaskan fenomena masyarakat desa secara lebih komprehensif, sehingga
diperlukan teori-teori yang sifatnya lebih khusus.Teori-teori ini mencoba
menjelaskan perkembangan masyarakat lewat tahap-tahap tertentu. Teori-teori
khusus ini merupakan model dikotomi dan trikotomi yang membagi masyarakat
menjadi pilah dua maupun pilah tiga. Teori-teori ini termasuk ke dalam kubu
teori modernisme.
Terdapat
kubu teori lain yang berlawanan dari kubu teori modernisme yaitu kubu teori
dependensi. Kalau teori modernisasi berpendapat bahwa semua masyarakat akan
berubah dan berkembang menjadi modern, maka teori dependensi berpendapat bahwa
kapitalisme modern menyebabkan masyarakat pinggiran menjadi tergantung pada
negara-negara maju sehingga mengalami keterbelakangan.
Mengingat
bahwa pada kenyataannya terdapat dominasi dari sistem kapitalisme modern,
penyebarluasan teknologi modern dan komunikasi informasi maka dalam menggunakan
kedua kubu teori tersebut sebaiknya juga harus memperhatikan pendapat Howard
Newby. H. Newby berpendapat bahwa studi mengenai masyarakat desa saat ini
hendaknya memfokuskan perhatian pada proses penyesuaian masyarakat desa
terhadap merasuknya sistem kapitalisme modern.
Pengertian
Desa, Umum Dan Khusus (Indonesia)
Pengertian
Desa
Pada umumnya pengertian desa sering dikaitkan dengan
sektor pertanian, alasannya asal-muasal desa karena pengenalan cocok tanam.
Secara
keilmuan, ahli sosiologi menyatakan bahwa desa merupakan lingkungan di mana
warga memiliki hubungan akrab dan bersifat informal. Paul H. Landis yang
mewakili pakar sosiologi pedesaan,mengemukakan 3 definisi desa untuk tujuan
analisis yang berbeda-beda,yaitu analisis statistik, analisis sosial
psikologis, dan analisis ekonomi.
Menurut
Roucek dan Warren, untuk memahami masyarakat desa dapat dilihat dari
karakteristiknya yaitu:
1. Besarnya
peranan kelompok primer;
2. Faktor
geografis sebagai dasar pembentukan kelompok;
3. Hubungan
bersifat akrab dan langgeng;
4. Homogen;
5. Keluarga
sebagai unit ekonomi;
6. Populasi
anak dalam proporsi lebih besar.
Menurut
Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman faktor-faktor yang dapat menentukan
karakteristik masyarakat desa dan kota adalah:
1. mata
pencaharian;
2. ukuran
komunitas;
3. tingkat
kepadatan penduduk;
4. lingkungan;
5. diferensiasi
sosial;
6. stratifikasi
sosial;
7. interaksi
sosial;
8. solidaritas
sosial.
Pada
kenyataannya karakteristik itu terlalu sukar untuk diterapkan pada masyarakat
desa yang nyata, karena seiring dengan semakin meningkatnya mobilitas sosial
masyarakat dan berkembangnya jalur transportasi maka yang terjadi adalah
semakin tipisnya perbedaan antara desa dan kota.
Pengertian
Desa, di Indonesia
Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang fenomena
keaslian desa di Indonesia. Beberapa
pakar di Belanda seperti van den Berg dan Kern berpendapat bahwa desa-desa di
Jawa adalah buatan India. Sedangkan pakar Belanda lainnya, yang diwakili oleh
van Vollenhaven, de Louter, Brandes, dan Liefrinck, berpendapat bahwa desa-desa
di Indonesia itu bersifat asli, Begitu juga dengan Sutardjo Kartohadikoesoemo,
yang berpendapat bahwa desa-desa di Jawa itu asli, bukan buatan India maupun
Belanda.
Di
samping pendapat di atas, dikemukakan pula bahwa desa-desa tersebut juga bukan
buatan Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa sebelum Indonesia merdeka,
desa-desa tersebut sudah ada. Desa-desa tersebut mempunyai kedudukan sebagai
desa yang mandiri. Akan tetapi setelah Indonesia merdeka maka dilakukan
beberapa pembenahan, yang juga menyangkut kedudukan desa sebagai desa yang
mandiri tersebut. Melalui beberapa peraturan perundangan, desa mempunyai kedudukan
sebagai kesatuan sosial dan hukum (adat) yang masih diberi kebebasan tertentu
dan desa sebagai kesatuan administratif yaitu merupakan bagian integral dari
Negara Republik Indonesia. Selanjutnya menurut Undang undang Nomor 5 Tahun 1979
pengertian desa dibedakan menjadi “desa” dan “kalurahan”.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 yang berisi tentang dimungkinkannya tindakan untuk
membentuk, memecah, menyatukan dan menghapus desa dan kelurahan, membawa
kemungkinan bagi perubahan pada desa dan kelurahan baik dalam hal volume maupun
statusnya. Perubahan yang ada menunjukkan bahwa jumlah desa dari tahun ke tahun
memperlihatkan adanya gejala kenaikan.
Berbicara
tentang ciri khas desa tidaklah mudah, mengingat bahwa desa-desa di Indonesia
sangat beragam. Sehubungan dengan hal itu, Koentjaraningrat mengemukakan
perlunya berbagai sistem prinsip yang dapat dipakai dalam mengklasifikasikan
aneka warna bentuk desa di Indonesia. Di samping itu, untuk menandai ciri-ciri
desa di Indonesia, perlu diperhitungkan pula faktor-faktor: 1) tingkat
teknologi dan kondisi geografis, 2) keberagaman suku bangsa di Indonesia, 3)
perbedaan dalam dasar-dasar peradaban suatu kawasan, dan 4) pengaruh kekuasaan
luar desa.
Keberagaman
desa-desa di Indonesia menyebabkan terjadinya kesulitan dalam usaha untuk
menyeragamkan desa-desa tersebut. Salah satu kesulitan adalah kesulitan dalam
mencari padanan desa di Jawa dengan fenomena serupa yang ada di luar Jawa.
Usaha yang telah dilakukan antara lain adalah pembakuan desa di Indonesia lewat
Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 29 April 1969 (Nomor Desa 5/1/29) kepada
para gubernur seluruh Indonesia.
Struktur
Masyarakat Desa
Di
dalam konsep struktur sosial terkandung pengertian adanya hubungan-hubungan yang
jelas dan teratur antara orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk dapat
membangun pola hubungan yang jelas dan teratur tersebut tentu ada semacam
‘aturan main’ yang diakui dan dianut oleh pihak-pihak yang terlibat. Aturan
main tersebut adalah norma atau kaidah ini menjadi lebih konkret dan bersifat
mengikat maka diperlukan lembaga (institusi).
Pitirin
Sorokin membedakan struktur sosial menjadi struktur sosial vertikal dan horizontal. Struktur sosial vertikal
(pelapisan/stratifikasi sosial) menggambarkan kelompok-kelompok sosial dalam
susunan yang bersifat hierarkis, sedangkan struktur
sosial horizontal (diferensiasi sosial) menggambarkan
variasi/beragamnya dalam pengelompokan-pengelompokan sosial.
Smith
dan Zopf mengemukakan pendapat tentang pola pemukiman. Menurut mereka pola
pemukiman berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan (spatial) antara
pemukiman penduduk desa yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian
mereka. Sementara itu Paul H. Landis menggambarkan adanya empat tipe pola
pemukiman yaitu pola pemukiman: 1) mengelompok murni, 2) mengelompok tidak
murni, 3) menyebar teratur, dan 4) menyebar tidak teratur. Menurut tipe pola
pemukiman mengelompok murni yang paling dominan di dunia, sedangkan yang paling
ideal adalah pola pemukiman tipe menyebar teratur. Di Indonesia, terutama di
Jawa cenderung memperlihatkan pola pemukiman tipe mengelompok murni.
Struktur
Biososial, Sosial dan Umum Masyarakat Desa
Struktur biososial adalah struktur
sosial (vertikal maupun horizontal) yang berkaitan dengan
faktor-faktor biologis seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan
lainnya. Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur
sosial diperlihatkan melalui sifat mata pencaharian, di mana ketika
masyarakat masih pada taraf food gathering economic sampai dengan ketika
bercocok tanam, maka pengalaman dan tenaga fisik menjadi faktor yang dominan.
Dengan demikian orang yang lebih tua dan orang yang secara fisik lebih kuat
(laki-laki dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan) menempati kedudukan
sosial yang tinggi.
Struktur
sosial vertikal (stratifikasi/pelapisan sosial) merupakan gambaran
dari kelompok-kelompok sosial dalam susunan hierarkis. Untuk mengenalinya maka
digunakan lambang status (status symbols). Untuk memperdalam pemahaman Anda
mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! Lambang status adalah
semua hal atau benda yang menjadi pertanda dari suatu lapisan sosial seperti
kekayaan, gaya hidup, pendidikan, keturunan, dan sebagainya. Lambang status ini
dianggap mempunyai ‘nilai’ di dalam masyarakat.
Sutardjo
Kartohadikoesoemo mengklasifikasikan penduduk desa Jawa menjadi beberapa
lapisan sosial berdasarkan faktor pemilikan/penguasaan lahan pertanian, yaitu:
1) warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah dan tanah pekarangan, 2a)
warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan, 2b) warga desa yang
mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain, 3a) warga desa yang kawin dan
mondok di rumah orang lain, dan 3b) pemuda yang belum kawin. Berdasarkan
kerangka dari Smith dan Zopf, pelapisan sosial masyarakat desa di Indonesia
diklasifikasikan berdasarkan kriteria:
1. luas/sempitnya
pemilikan atau penguasaan tanah,
2. adanya
pihak lain di luar sektor pertanian,
3. sistem
persewaan atau penguasaan tanah, dan
4. sifat
pekerjaan.
Struktur sosial horizontal merupakan gambaran mengenai keberagaman pengelompokan
sosial dalam masyarakat. Secara umum masyarakat desa merupakan komunitas yang
kecil sehingga antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat kemungkinan
yang besar untuk saling berhubungan secara langsung dan saling mengenal secara “pribadi”.
Hubungan semacam ini disebut hubungan primer dan kelompoknya disebut kelompok
primer. Kelompok primer yang utama dalam masyarakat adalah keluarga, lalu
ketetanggaan dan komunitas. Keluarga merupakan kelompok sosial yang mempunyai
peran dan pengaruh yang paling dominan.
Smith
dan Zopf secara umum membedakan dua pola umum desa yaitu desa sistem satu kelas
dan desa sistem dua kelas atau desa di mana pemilikan lahan pertanian penduduk
mempunyai luas yang rata-rata sama. Sedangkan desa sistem dua kelas adalah tipe
desa di mana terdapat perbedaan yang mencolok dalam luas pemilikan lahan
pertanian. Di dalam desa sistem satu kelas terdapat pelapisan/ stratifikasi
sosial, sedangkan di dalam desa sistem dua kelas terdapat polarisasi sosial.
Pola
Kehidupan Masyarakat Desa
Pola
Kebudayaan Masyarakat Desa
Terhadap berbagai definisi tentang kebudayaan, antara
lain yang mengemukakan bahwa way of life, yaitu way of thinking, way of
feeling, dan way of doing. Untuk menganalisa masyarakat pedesaan yang bersifat
bersahaja maka diperlukan konsep kebudayaan yang sederhana pula yaitu
kebudayaan dilihat dari aspek kebudayaan dan non-kebudayaan (immaterial
culture). Dengan kata lain kebudayaan dilihat sebagai suatu sistem nilai dan
norma (adat istiadat) yang mengatur perilaku dan perikehidupan masyarakat desa.
Pola
kebudayaan masyarakat desa termasuk pola kebudayaan tradisional, yaitu
merupakan produk dari benarnya pengaruh alam terhadap masyarakat yang hidupnya
tergantung pada alam. Menurut Paul H. Landis besar kecilnya pengaruh alam
terhadap pola kebudayaan tradisional ditentukan oleh: 1) sejauh mana
ketergantungan terhadap alam, 2) tingkat teknologi yang dimiliki, dan 3) sistem
produksi yang diterapkan. Paul H. Landis juga mengemukakan ciri-ciri kebudayaan
tradisional yaitu: 1) adaptasinya pasif, 2) rendahnya tingkat invasi, 3)
tebalnya rasa kolektivitas, 4) kebiasaan hidup yang lamban, 5) kepercayaan
kepada takhayul, 6) kebutuhan material yang bersahaja, 7) rendahnya kesadaran
terhadap waktu, cenderung bersifat praktis, dan 9) standar moral yang kaku.
Persyaratan
bagi eksistensi pola kebudayaan tradisional tidak hanya menyangkut kesembilan
ciri-ciri di atas, melainkan juga harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan luar
desa (supradesa) seperti pengaruh struktur kekuatan tertentu yang mendominasi
desa. Pelbagai kerajaan yang tersebar di persada Nusantara memiliki pengaruh
yang sangat menentukan bagi pola kebudayaan masyarakat desa. Pengaruh kerajaan
juga menyangkut masalah penguasaan kerajaan terhadap tanah pertanian (sistem
feodalisme) sehingga masyarakat desa memiliki ketergantungan yang tinggi pada
kerajaan. Di daerah-daerah yang tidak terdapat kerajaan maka sistem kekerabatan
mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keberadaan pola kebudayaan
tradisional. Dengan kata
lain, pola kebudayaan mereka identik dengan sistem kekerabatannya.
Tradisi dan
Hukum Adat di Pedesaan Indonesia
Tradisi dibedakan dalam pengertian sebagai tradisi
sinkronik dan diakronik. Dalam pengertian tradisi diakronik, antara yang
tradisional dengan yang modern tidak dapat dipertemukan atau dipersatukan.
Sedangkan dalam tradisi sinkronik, tradisi justru bersifat situasional Untuk
memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan
berikut! artinya mengikuti perubahan dan perkembangan zaman sehingga antara
yang tradisional dengan yang modern tidak bertentangan. Dalam pembahasan
tentang masyarakat desa yang bersahaja, maka pengertian.tradisi diakronis yang
digunakan.
Pengertian
tradisi dan adat istiadat dikonkretkan lagi menjadi hukum adat. Pengertian
hukum adat di sini lebih mengacu pada pengertian hukum asli yang ada di
pelbagai daerah di Indonesia. Hukum adat yang mengatur kehidupan
masyarakat-masyarakat di pelbagai daerah di Indonesia ini tidak terlepas dari
pengaruh-pengaruh luar, misalnya pengaruh dari agama Hindu, Islam, dan
pemerintahan kolonial.
Untuk
memperoleh gambaran umum mengenai hukum adat di Indonesia, perlu dibedakan dua
tipe desa berdasarkan perbedaan integritas masyarakatnya yaitu desa-desa di
luar Jawa dan di Jawa. Integritas desa-desa di luar Jawa didasarkan atas
hubungan darah (genealogis), sedangkan integritas desa-desa di Jawa lebih
didasarkan pada ikatan hubungan daerah (geografis). Pada masyarakat yang
integritasnya didasarkan pada ikatan darah maka hukum adatnya kurang memiliki
kekuatan pengikat dan pengendali dibandingkan dengan hukum adat pada masyarakat
yang integritasnya didasarkan pada ikatan darah.
Untuk
desa-desa di Jawa umumnya, di daerah pedalaman khususnya, melemahnya tradisi
serta hukum adat bukan saja karena sifatnya sebagai tipe desa geografis,
melainkan terutama untuk intervensi yang dilancarkan oleh kekuatan-kekuatan
luar desa (supradesa).Kekuatan supradesa ini adalah dari kekuatan kerajaan dan
pemerintah kolonial.
Kelembagaan
Pada Masyarakat Desa
Lembaga
Sosial dan Lembaga Pemerintah Desa
Terdapat berbagai definisi yang dikemukakan oleh para
ahli tentang pengertian lembaga sosial tetapi pada dasarnya semua definisi
tersebut menekankan lembaga sebagai sistem atau kompleks nilai dan norma.
Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan
atau tujuan tertentu. Terdapat lima karakteristik lembaga sosial yang meliputi
tujuan utama, nilai-nilai pokok, sifat permanen, sifat keterkaitannya dan
penerimaan atas ide-ide.
Lembaga
bisa diciptakan dengan sengaja (enacted institutions) untuk memenuhi
tugas-tugas tertentu maupun secara tidak sengaja Untuk memperdalam pemahaman
Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! (crescive
institutions) yaitu yang tumbuh dari adat istiadat. Lembaga sosial mempunyai
sifat dinamis, yaitu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya lembaga-lembaga baru dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru masyarakat.
Di
dalam suatu masyarakat meskipun terdapat lebih dari satu lembaga biasanya
terdapat satu lembaga yang berada dalam kedudukan teratas dan mendominasi
lembaga-lembaga lainnya. Bagi masyarakat desa, lembaga-lembaga dominan ini bisa
diwakili oleh lembaga adat maupun lembaga pemerintahan. Besarnya peranan
lembaga pemerintahan itu berbeda pada semua desa Pada desa dengan ikatan
genealogis peranan lembaga pemerintahan ini tidak terlalu besar karena sistem
kekerabatan dengan aturan adat istiadatnya sangat mendominasi kehidupan
masyarakat desa ini Sedangkan pada desa dengan ikatan kedaerahan peranan
lembaga pemerintahan cukup besar.
Ketika
negara Indonesia belum lahir peranan lembaga pemerintahan desa secara umum
sangat besar karena pada umumnya desa-desa tersebut hidup mandiri. Akan tetapi
ketika negara Republik Indonesia lahir, lembaga pemerintahan desa asli yang
bersifat lokal, yang terbentuk berdasarkan hukum adat atau tradisi mulai
kehilangan tempat berpijak digantikan oleh lembaga pemerintahan baru yang
bersifat nasional berlandaskan peraturan-peraturan formal (Undang-Undang No. 5
Tahun 1979).
Lembaga-lembaga
Sosial Lain, Lama dan Baru
Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap kebutuhan
masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan baru maka terdapat pula tuntutan atas
munculnya lembaga baru. Dengan demikian lembagalembaga lama mengalami
pergeseran dan perubahan. Sebagai contoh adalah lembaga gotong-royong.
Gotong-royong yang disebut sambatan yang lebih mengandalkan barter tenaga telah
bergeser ke sistem upah.Sistem sakap atau bagi hasil semakin tergeser oleh
sistem persewaan.Gotong-royong yang dilandasi oleh partisipasi berubah menjadi
kerja bakti yang lebih dilandasi oleh mobilisasi.
Lembaga
pemerintahan desa lama keberadaannnya semakin terdesak dan tergantikan oleh
lembaga pemerintahan baru. Keberadaan beberapa lembaga baru ini memang sesuai
dengan tuntutan perkembangan, namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum
tentu sesuai. Lembagalembaga baru di desa-desa saat ini sebenarnya tidak
seluruhnya telah dapat disebut lembaga dalam arti yang sebenarnya, melainkan
merupakan badan-badan. organisasi-organisasi, atau kegiatan-kegiatan yang
bersifat sementara yang keberadaannya berkaitan dengan pelaksanaan suatu
program pembangunan tertentu.
Masyarakat
Desa Sebagai Komunitas
Konsep dan
Tipe-tipe Umum Komunitas Desa
Terdapat beberapa definisi yang mencoba menjelaskan
tentang perbedaan pengertian society dan community. Akan tetapi pada dasarnya
komunitas itu mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan kedaerahan,
dan 2) ikatan emosional di antara warganya. Pada pembahasan ini komunitas desa
diartikan sebagai komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih
jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal (lingkungan) mereka entah
sebagai petani, nelayan atau yang lainnya.
Corak
dan sifat komunitas desa didasarkan pada sistem mata pencaharian pokok mereka
yaitu sistem pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan menciptakan tipe
komunitas yang berbeda dengan sistem pertanian lahan basah. Di samping itu
jenis-jenis tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe komunitas. Selanjutnya
D. Whittlesey mengemukakan tentang sembilan corak sistem pertanian yaitu: 1)
bercocok tanam di ladang berpindah, 2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3)
bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana dan tanaman pokok
padi, 4) bercocok tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa
padi, 5) bercocok tanam sekitar Lautan Tengah, 6) pertanian buah-buahan, 7)
pertanian komersial dengan mekanisasi berdasarkan tanaman gandum, pertanian
komersial dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan mekanisasi.
Selain
komunitas desa pertanian terdapat pula komunitas desa nelayan. Faktor penentu
struktur komunitas desa nelayan adalah pemilikan sarana menangkap ikan (perahu,
jaring-jaring, harpun, dan lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok
dalam struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan buruh nelayan. Selain
itu terdapat pula strata komando kapal yang posisinya ada di tengah-tengah
kedua strata tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata lebih miskin
dibanding komunitas desa pertanian.
Komunitas
Peasan (Peasant)
Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan
pengertian tentang peasan. Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu
pada sistem kehidupan peasan yang bersifat subsisten, artinya masyarakat dengan
tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan
subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life
yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena
faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah.
Sehubungan
dengan pola kebudayaan subsisten peasan, Everett M. Rogers mengemukakan tentang
karakteristik dari subkultur peasan yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan
antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu
di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme
yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang
rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai
dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan
oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik
peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai
antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/kolektivitas
yang tinggi.
Sistem
Ekonomi Masyarakat Desa
Sistem Ekonomi
Pertanian Mayarakat Desa
Berbicara ekonomi masyarakat desa berarti berbicara
tentang bagaimana masyarakat desa memenuhi kebutuhan jasmaniah. Sistem ekonomi
masyarakat desa terkait erat dengan sistem pertaniannya. Akan tetapi sistem
pertanian masyarakat desa tidak hanya mencerminkan sistem ekonominya melainkan
juga mencerminkan sistem nilai, normanorma sosial atau tradisi, adat istiadat
serta aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa
masyarakat desa menyikapi sistem pertaniannya sebagai way of life.
Sistem
pertanian yang ada di Indonesia berdasarkan pembagian dari D. Whitlesey
meliputi tipe bercocok tanam di ladang, bercocok tanam tanpa irigasi yang
menetap, bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
berdasarkan tanaman pokok padi, dan pertanian buah-buahan. Sedangkan
berdasarkan pembagian dari Frithjof di Indonesia terdapat dua tipe sistem
pertanian yaitu perladangan berpindah, pertanian keluarga, dan pertanian
kapitalistik. Sedangkan Dr. Murbyarto membedakan dua sistem pertanian yaitu
pertanian rakyat dan perusahaan pertanian.
Sehubungan
dengan sistem ekonomi maka sistem pertanian meliputi tiga era, yaitu era
bercocok tanam yang bersahaja, era pertanian prakapitalistik, dan era pertanian
kapitalistik. Pada awal ditemukannya cocok tanam, kegiatan pertanian nenek
moyang kita hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum
melembaga sebagai pertukaran. Sedangkan pada era pra-kapitalistik, bercocok
tanam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan melainkan juga
mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan. Pada era inilah
sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Pada era kapitalistik,
sistem pertanian tidak hanya dikelola untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga
melainkan dengan sengaja dan sadar diarahkan untuk meraih keuntungan (profit
oriented).
Keterkaitan
sistem ekonomi dengan sistem sosial berhubungan dengan tingkat penggunaan
teknologinya. Pada masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern
dan belum komersial, maka hubungan-hubungan sosial yang ada menunjukkan
keakraban, serba informal, serta permisif. Di lain pihak pertanian yang
dikelola dengan menggunakan teknologi modern, hubungan sosialnya cenderung
tidak lagi akrab, informal dan permisif.
Faktor-faktor
Determinan dalam Sistem Ekonomi Desa
Dalam sistem ekonomi desa terdapat tiga faktor determinan
yaitu keluarga, lahan pertanian, dan pasar. Menurut J.H. Boeke keluarga pada
masyarakat desa itu merupakan unit untuk swasembada, artinya keluarga mewujudkan
suatu unit yang mandiri yang dapat menghidupi keluarga itu sendiri lewat
kegiatan pertaniannya. Di lain pihak A.V. Chaianov berpendapat bahwa ekonomi
petani pra-kapitalistik (peasan) merupakan ekonomi keluarga, sehingga
pengertian laba pada sistem ekonomi ini sangat berbeda dengan pengertian laba
pada perekonomian kapitalistik.
Sedangkan
faktor determinan lahan pertanian terkait dengan pemilikan dan penggunaan
lahan. Sehubungan dengan hal ini maka kondisi fisik dan jenis tanaman juga
sangat berpengaruh terhadap sistem ekonomi/pertanian. Di lain pihak faktor
determinan pasar menunjukkan adanya hubungan antara masyarakat desa dengan
pihak-pihak lainnya. Hubungan ini tidak hanya bersifat ekonomi saja, melainkan
juga bersifat sosial dan budaya.
Sistem status
dalam pelapisan masyarakat
Sistem Status yang Berubah Sekitar tahun 1900, Belanda
berhasil menejakkan kekuasaannya diseluruh kepuluan Indonesia .Pelapisan
masyarakat kolonial menurut garis Ras, yang lazim terdapat di Jawa, mulai meluas
ke pulau-pulau seberang. Tetapi dalam pada itu di abad ke-20 terjadi
perkembangan dinamis yang menerobos pola yang kaku ini dan meningkatkan
mobilitas sosial. Di pulau-pulau seberang, uanglah terutama yang melakukan
pendobrak system asli yang lama.
Para
pedagang kota di Indonesialah yang pada pokoknya melkukan pemborontakan
menentang tradisi dan kekuasaan suku. Penanaman tanam-tanaman yang hasilnya
untuk di jual di daerah-daerah yang luas kota juga telah menimbulkan sebentuk
faham individualisme ekonomi tertentu yang memberontak terhadap ikatan-ikatan
tradisional dan terhadap kekuasaan ketua-ketua adat.
Kemakmuran
kebendaan yang dicapai oleh banyak petani dan pedagng telah menyebabkan mereka
itu berjuang untuk memperoleh suatu prestise sosial yang sama dengan yang
dimiliki ketua-ketua adat dan menuntut agar mereka mempunyai hak kawin dengan
kelas ketua-ketua adat.
Pendidikan juga mempunyai pengaruh dinamis di luar pulau-pulau jawa, walaupun tidak sehebat di Jawa. Untuk para cendekiawan tidak ada atau sedikit sekali pekerjaan di ldang atau di daerah karet, juga kta-kata jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa karena itu kebanyakan orang-orang yang mendapatkan pendidikan dengan cara Barat berkumpul di Jawa ketika bersekolah dan setelah selesai sekolah, jadi mereka lebih bnyak merupakan masalah sosial di Jawa daripada diseberang.
Pendidikan juga mempunyai pengaruh dinamis di luar pulau-pulau jawa, walaupun tidak sehebat di Jawa. Untuk para cendekiawan tidak ada atau sedikit sekali pekerjaan di ldang atau di daerah karet, juga kta-kata jauh lebih kecil dibandingkan dengan di Jawa karena itu kebanyakan orang-orang yang mendapatkan pendidikan dengan cara Barat berkumpul di Jawa ketika bersekolah dan setelah selesai sekolah, jadi mereka lebih bnyak merupakan masalah sosial di Jawa daripada diseberang.
Semenjak
tahun 1900, di Jawa dapat pula diperhatikan bertambah meningkatnya perbedaan
propesi. Bertambah meluasnya ekonomi uang dan meningkatnya hubungan dengan
Barat telah menyebabkan timbulnya lapangan kerja baru, seperti sopir, montir,
masinis dan mandor. Lalu timbullah suatu kelompok baru yang naik sampai ke
suatu tingkat di atas masyarakat pada umumnya karena kemampuan tekhnis mereka. Orang
Indonesia semakin banyak bekerja di bidang perdagangan di banding dengan
sebelumnya. Terlepas dari bentuk pendidikan yang di berikan dan sebagaimana
lumrahnya pendidikan itu bertentangan sekali dengan konsep-konsep Bumiputera
tradisional, kenyataan adanya pendidikan itu saja telah mendobrak struktur
masyarakat pertanian. Walaupun sekolah-sekolah mencoba sekuat mungkin untuk
menyesuaikan pendidikannya dengan keadaan masyarakat pertanian, orang-orang
yang umumnya mendapat pendidikan pertanian atau pendidikan tekhnis sekalipun
amat cenderung untuk mencari pekerjaan di kota-kota, di mana mereka dapat
mencapai prestise yang lebih tinggi.
Ciri
Masyarakat Desa :
- interaksi antar masyarakat
- adat istiadat norma hukum dan aturan khas yang
mengatur tingkah laku warga.
- suatu kontinyuitas dalam waktu tertentu
- suatu identitas yang kuat mengikat semua warga
Ciri Ciri
Fisik Desa
jumlah
penduduk tidak lebih dari 1000 orang
sebagian besar
tanahnya tanah pertanian,kecuali desa nelayan
tidak terlalu
di sibukan dengan kendaraan roda empat di desa relative dari jalan batu dan
tanah
Ciri Ciri
Masyarakat Desa
- hubungan warganya sangat erat
- system kehidupan kelompok berdasarkan system
kekeluargaan
- pada umumnya hidup dari hasil pertanian
- cara bertani belum mengenal mekanisme pertanian
- golongan orang tua memegang peranan penting karena
itu sukar mengadakan perubahan perubahan yang nyata pada umumnya golongan
tua di golongkan pada tradisi yang kuat mereka ini di sebut pimpinan
formal
- system pengendali sosial sangat kuat sehingga
perkembangan jiwa individu sangat sukar di kembangkan
- rasa persaudaraan yang sangat kuat sekali anatara
warganya saling mengenal dan saling menolong
0 komentar:
Posting Komentar
:)