Kamis, 04 April 2019

Akuntansi Syariah : SUMBER HUKUM ISLAM


SUMBER HUKUM ISLAM

Kata-kata sumber dalam hukum Islam merupakan terjemahan dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di akhirat.


Sumber hukum Islam merupakan dasar atau referensi untuk menilai apakah perbuatan manusia sesuai dengan syariah (ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT) atau tidak. Sumber hukum Islam yang telah disepakati jumhur (kebanyakan) ulama ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijmak dan Qiyas, sebagaimana tertuang dalam QS 4:59.

“Hai orang orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri (pemegang kekuasaan), diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tetntang sesuatu, maka lembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Ayat ini ditujukan kepada orang yang beriman untuk menaati Allah SWT, Rasul, dan pemimpin (Ulil Amri). Taat kepada Allah dilakukan dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Taat kepada pemimpin (Ulil Amri) selama perintah pemimpin tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah.

Urutan prioritas pengambilan sumber hukum antara Al-Qur’an, As-Sunah, Ijmak dan Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an. Apabila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, barulah beralih meneliti As-Sunah. Bila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, abru dibolehkan merujuk kepada putusan dari para mujtahid yang menjadi Ijmak (kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada Ijmak tersebut. Sekiranya tidak ditemukan rujukan Ijmak dalam masalh tersebut, maka ditempuh Qiyas, yaitu usaha sungguh-sungguh dengan jalan membuat analogi kepada peristiwa sejenis yang telah ada ketentuan hukum (nash)-nya, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

“Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?” “Kuhukumi dengan kitab Allah”, jawabnya, “Jika kamu tidak mendapatkannya didalam kitab Allah, lantas bagaimana?” sambung Rasulullah, “Dengan sunah Rasulullah” ujarnya. “jika tidak kamu temukan dalam sunah Rasulullah, lalu bagaimana?” tanya rasul lebih lanjut. “Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku dan aku tidak akan meninggalkannya, “ jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya : Alhamdulillah, Allah telah memberi taufik kepada utusan rasulullah sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudzi)

A.    AL-QUR’AN
Al-Qur’an ialah kalam Allah (kalamullah-QS 53:4) dalam bahasa Arab, sebagai sebuah mukjizat yang dirunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui utusan Allah Malaikat Jibril a.s untuk digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia dalam menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an langsung kepada Nabi Muhammad SAW melalui utusannya Malaikat Jibril a.s, secara berangsung-angsur selama 23 tahun. Setiap ayat yang diturunkan, kemudian dihafalkan oleh Nabi dan para sahabat, sehingga sempurna menjadi sebuah Al-Qur’an.
Sebagian ayat Al-Qur’an turun di kota Mekkah sebelum peristiwa Hijrah, dan sebagian yang lainnya turun di kota Madinah setelah peristiwa Hijrah. Ayat yang diturunkan pertama kali adalah QS 96: 1-5 sedangkan ayat yang terakhir adalah QS 5:3.
                                                    
“…. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”

Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (ayat-ayat Makkiyah), sebagian besar menerangkan tentang Akidah Islamiyah yaitu Al-Wahdaniyah (ke-Esaan Tuhan), keimanan terhadap para malaikat, para nabi dan hari akhir.
Ayat-ayat yang turun di Madinah, mengandung hukum-hukum fikih, aturan pemerintahan, aturan keluarga, serta aturan tentang hubungan antara orang-orang muslim dan non muslim yang menyangkut perjanjian dan poerdamaian.

Berdasarkan keterangan di atas, maka kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak turun secara sekaligus melainkan secara berangsur-angsur. Ada dua alasan mengapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.
1.  Untuk menguatkan hati, berupa kesenangan rohani (spiritual) agar Nabi selalu tetap merasa senang dapat berkomunikasi dengan Allah, dan menghujamkan Al-Qur’an serta hukum-hukumnya di dalam jiwa nabi dan jiwa manusia umumnya, sekaligus menjelaskan jalan untuk memahaminya.
2.  Untuk menartilkan (membaca dengan benar dan pelan) Al-Qur’an, kondisi umat saat Al-Qur’an ditiurnkan adalah ummiy, yaitu tidak dapat membaca dan menulis, sementara Allah SWT menghendaki Al-Qur’an dapat dihafal dan ditresapi agar secara berkesinambungan (mutawattir) tetap terpelihara keasliannya (lestari) sampai hari kiamat. Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur merupakan salah satu cara untuk itu, sehingga memudahkan nabi dan para sahabat untuk menghafalnya. (QS 75: 16-19).

Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia.

Mencari dan mengembangkan harta dan kekayaan diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu dilaksanakan dalam koridor yang benar dan halal yaitu melalui pekerjaan dan atau perniagaan halal yang saling rela.
Al-Qur’an menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur apada akad transaksi (QS 2:282), dan jika akad tersebut ditangguhkan pemayarannya, maka hendaklah ditulis, untuk menghindarkan perselisihan di kemudian hari.

Dalam menetapkan hukum pidana, Al-Qur’an senantiasa memperhatikan empat hal, yaitu : (Zahroh, 1999)
1.      Melindungi jiwa, akal, harta benda, dan keturunan;
2.      Meredam kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai;
3.      Memberikan ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya;
4.      Menyesuaikan hukuman dengan pelaku kejahatan, yakni bila pelaku kejahatan tersebut orang rendahan, maka hukumannya menjadi ringan.
Bahkan pengaturan dalam melakukan muamalah dengan non muslim juga diatur dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an membagi orang kafir menjadi tiga bagian (Zahroh, 1999), yaitu :
1.      Kafir dzimmy dan mu’ahad, yaitu kafir yang telah mengikat perjanjian, sehingga Allah SWT memerintahkan untuk bergaul dengan mereka seperti sesama muslim;
2.      Kafir musta’man, yaitu kafir yang dianggap aman/tidak membahayakan, sehingga darah dan harta benda mereka haram (tidak boleh diganggu) sepanjang mereka masih tetap memegang teguh perjanjian;
3.      Kafir harby (musuh), dimana Allah SWT tetap memebrikan hak-hak yang harus dihormati atas harkat dan martabat kemanusiaan, hak persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah Insaniyah), hak keadilan, hak perlakuan sepadan dengan memperhatikan keutamaan/kemaslahatan.
Dari tuntunan tersebut diketahui bahwa Islam memperlakukan nonmuslim sangatlah adil. Sekaligus juga membuktikan bahwa Al-Qur’an memang suatu bentuk pedoman yang sangat lengkap dan bersifat universal.

B.     AS-SUNAH
As-Sunah ialah ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) serta ketetapan-ketetapan (taqririyah) Nabi Muhammad SAW yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.

Sunah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.Sedangkan sunah menurut istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.
Selain itu, As-Sunah bisa juga membatasi ketentuan Al-Qur’an yang bersifat umum, dan bahkan bisa menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Salah satu contoh ucapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sumber hukum Islam adalah sabda beliau yang memerintahkan untuk muali puasa Ramadhan ketika masuk tanggal satu ramadhan dan berhenti puasa (berbuka/lebaran) karena melihat tanggal 1 Syawal.

Contoh hukum Islam yang merujuk kepada perbuatan nabi Muhammad SAW adalah praktik shalat dan haji sebagaimana dicontohkan oleh beliau. Dihadapan para sahabat, rasul menyatakan :
“ Lakukanlah shalat persisi sebagaimana kalian melihatkau mengerjakan shalat”.
Contoh ketetapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sumber hukum Islam adalah pembenaran oleh Rasul terhadap tindakan salah seorang sahabat yang bertayamum, karena tidak menemukan air untuk mengerjakan shalat kemudian menemukannya setelah shalat.
Berbeda dengan Al-Qur’an yang telah ditulis pada masa Nabi, hadits lebih banyak dihafal dari pada ditulis. Bahkan pada awalnya, Rasul melarang para sahabat untuk mecatat hadits, karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an. Izin penulisan hadits diberikan kepada sahabat tertentu seperti Abdullah bin Amr. Rasul juga meminta orang yang mendengarkan hadits untuk menyampaikan dengan teliti dan jujur kepada orang lain, seperti yang tertulis dalam hadits mutawatir berikut ini:
“…semoga Allah menecerahkan seseorang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia memahaminya dengan baik dan menyampaikan sebagaimana yang ia dengar. Boleh jadi orang yang menerima (penyampaian) itu lebih memahami daripada orang yang mendengarkannya… “

Fungsi As-Sunah
Fungsi As-Sunnah, antara lain:
1.      Menguatkan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
2.      Memberikan keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan menjelaskan rincian ayat-ayat yang masih bersifat umum
3.      Membatasi kemutlakannya
4.      Menakhsiskan/mengkhususkan keumumannya
5.      Menciptakan hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, contoh :

As-Sunah Sebagai Sumber Hukum
Ketaatan kepada Allah SWT harus diikuti dengan ketaatan kepada Rasul. Sebaliknya, ketaatan kepada Rasul harus diikuti pula dengan ketaatan kepada Allah SWT, sehingga keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah SWT. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu) maka (ketahuilah) Kami tidak mengutus (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka . (QS 4:80)

Kategorisasi Sunah
Khabar atau sunah pada umumnya dapat dikategorisasikan menjadi tiga yaitu:
1).   Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang datang dari Allah, rasul-Nya dan khabar yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir.

2). Khabar yang pasti salahnya, yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal, seperti khabar yang menyatakan antara hidup dan mati dapat berkumpul. Atau khabar yang bertentangan dengan ketentuan syariat, seperti mengakui menjadi rasul, akan tetapi tidak disertai dengan mukjizat.

3).   Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti khabar-khabar yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang kuat, benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak pasti (qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasiq.

C.    IJMAK
Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (a’maly), dan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunah.
Pengertian Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal. sedangkan menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.

Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an, al-Hadits dan akal pikiran.
Kedudukan ijma’ itu secara global adalah bisa dikatakan lebih pasti dari satu ayat Al Qur’an dan dari sebutir hadits. contohnya sholat lima waktu itu hukumnya fardhu, kemudian ada seorang mujtahid ulama’ yang mempunyai hukum yang sama, kemudian ada lagi yang mengatakan sama, tidak ada yang mengatakan tidak, semua ulama’ bersepakat bahwa sholat lima waktu itu hukumnya wajib, jadi kalau sudah ada kesepakatan seperti ini maka itulah yang dinamakan ijma’.
Dalil yang menjadi dasar Ijmak adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah SWT juga baik”.
“Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

“Ingatlah, barang siapa yang ingin menempati syurga, maka bergabunglah (ikutilah) jama’ah. Karena syaithan adalah bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh dari dua orang, daripada dari seseorang yang menyendiri.” (HR. Umar bin Khattab)

Tingkatan Ijmak
Menurut Imam Syafi’I tingkatan ijmak adalah sebagai berikut :
1.      Ijmak sharih ialah jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan “ hukum ini telah disepakati “, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakana.
2.      Ijmak Sukuti ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid di atas, akan tetapi tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
3.      Ijmak pada permasalahan pokok, jika para ahli fikih (fuqaha) yang hidup dalam satu masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam hukum yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka.

Terjadinya Ijmak
Faktor-faktor yang harus terpenuhi sehingga Ijmak dapat dijadikan sebagai dasar hukum adalah sebagai berikut:
1.      Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid
2.      Kesepakatan itu haruslah kesepakatan yang bulat
3.      Seluruh mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
4.      Kesepakatan itu diterapkan secara tegas terhadap peristiwa tersebut baik lewat perkataan maupun perbuatan.

Sedangkan untuk menjadi mujtahid, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. (Yahya & Ftchurrahman, 1997)
1.      Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
2.      Mengetahui nash-nash Al-Qur’an perihal hukum-hukum syari’at ynag dikandungnya, ayat-ayat hukum, cara mengeluarkan (istimbath) hukum dari Al-Qur’an. Selain itu juga harus mengetahui antara lain asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat), tafsir dari ayat yang hendak ditetapkan hukumnya (istimbath).
3.      Mengetahui nash-nash Al-Hadits yaitu mengetahui hukum syariat yang didatangkan oleh Al-Hadits dan mampu mengeluarkan (sitimbath-kan) hukum perbuatan orang mukalaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui derajat dan nilai hadits, seperti : mutawattir, ahad, shahih, hasan dan dhaif juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana hadits yang tsiqah (terpercaya) untuk ditolak haditsnya.
4.      Mengetahui maqashidus syari’ah (tujuan syari’ah), tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslahat dan kemudaratan.
Ijmak sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunah, cara penetapan hukumnya bukanlah hal yang mudah karena ada kriteria yang harus dipenuhi agar hasil dari ijmak dapat dijadikan sebagai pedoman.

Alasan menempatkan ijma’ sebagai dasar hukum setelah al-Qur'an dan Sunnah juga dikuatkan oleh beberapa Asar sahabat Nabi Muhammmad SAW diantaranya sebagaimana di sampaikan Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih : "Putuskanlah (perkara itu) menurut hukum yang ada dalam Kitab Allah. kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), maka putuskanlah sesuai hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Kalau tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah SAW), putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh (ummat) manusia”. Dalam riwayat lain; "Putuskanlah menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang-orang saleh."

Dasar lain, sebagaimana yang dikatakan Ibn Mas'ud :
"Siapa yang ditanya tentang (hukum) suatu masalah, seyogianya ia memberikan fatwa berdasarkan hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalarn al-Qur'an), maka berfatwalah menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW. Dan kalau tidak ada (dalam hadits), hendaklah berfatwa menurut hukum yang telah disepakati oleh umat manusia (umat Islam).”
                                                                                
D.    QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi, definisi qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash baik di Al-Qur’an dan As-Sunah dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena ada kesamaan dalam alasannya (‘illat), (Syafi’ie, 2007). Hal ini sesuai dengan (QS 59:2)

“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Pelajaran adalah qiyaslah keadaanmu dengan apa yang terjadi.
Mengenai qiyas ini, imam Syafi’I mengatakan : “ setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad, melalui qiyas.”

“Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata kepada Nabi SAW: “ Hai Rasulullah, aku melakukan sesuatu perbuatan yang besar, mencium (istri) dan saya dalam keadaan berpuasa”. Lantas Rasulullah berkata kepadanya: “berikanlah jawaban kepadaku, bagaimana seandainya kamu berkumur dengan air, sedang kamu dalam keadan berpuasa?” Umar menjawab: “tidak mengapa!” kemudian Rasulullah bersabda : “Lanjutkan puasamu”.

Qiyas dapat dianggap sebagai sumber hukum, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1.      Sepanjang mengacu dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, qiyas diperlukan karena nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunah itu universal dan global. Sedangkan kejadian-kejadian pada manusia itu berkembang terus. Oleh karena itu, tidak mungkin nash-nash (teks dalam Al-Qur’an) yang universal itu dijadikan sebagai satu-satunya sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang berkembang mengikuti zaman.
2.      Qiyas juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya, orang Islam meminum minuman yang memabukkan. Sangatlah masuk akal, bila setiap menuman memabukkan yang diqiyaskan dengan minuman tersebut, menjadi haram hukumnya.

Argumentasi (kehujjahan) Qiyas
Tidak perlu diragukan, bahwa argumentasi jumhur ulama didasakan pada prinsip berfikir logis, yaitu ayat Al-Qur’an dan  As-Sunah.
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)
Ayat diatas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah SWT dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecendrungan; apa seungguhnya yang dikehendaki Allah SWT dan RAsul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari ‘illat hukum, yang dinamakan Qiyas.

Dari keempat sumber hukum tersebut diatas, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pasti karena tidak perlu metode khusus untuk mengatakan ia adalah sumber hukum yang harus diikuti seorang muslim, sedangkan untuk As-Sunah, penetapan agar ia menjadi sumber hukum juga tidak diperlukan metode khusus, kecuali memerlukan penggolongan hadits berdasarkan perawihnya seperti telah disebutkan di atas. Untuk ijmak dan Qiyas telah dikembangkan metodologi baku untuk menetapkan suatu hukum yang disebut sebagai ilmu Fikih. Ilmu Fikih sendiri didefenisikan sebagai metode pengambilan/penetapan hukum tentang amal perbuatan manusia yang nashnya tidak ada didalam Al-Qur’an dan As-Sunah tetapi didasarkan atas dasar kesepakatan ulama. Sedangkan Ushul fikih ialah ilmu pengetahuan dari kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil (Al-Qur’an dan As-Sunah) untuk menghasilkan hukum yang sesuai dengan syariat. 

Macam-macam Qiyas
a).  Qiyas Aulawi (melebihkan atau mengutamakan)
Qiyas aulawiialah qiyas yang illatnya dapat menetapkan adanya hukum, sementara cabangnya lebih pantas menerima hukum daripada ashal.

b).  Qiyas Musawi (illat hukumnya sama)
Qiyas musawiialah qiyas yang illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya saja hukum yang berhubungan dengan cabang (furu‘), kedudukannya setingkat dengan hukum ashalnya.

c).   Qiyas Dilalah (menunjukkan)
Qiyas dilalahialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan hukum,akan tetapi dapat menunjukkan adanya hukum.

d).  Qiyas Syibh (menyerupai)
Qiyas syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal dengan illat yang lebih menyamai.Seperti budak yang mati terbunuh.



sumber :

1.      Sri nurhayati, dan Wasilah. 2016. Akuntansi Syariah Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.


0 komentar:

Posting Komentar

:)