SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata
sumber dalam hukum Islam merupakan terjemahan dari kata mashadir yang berarti
wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama
adalah Al Qur’an dan sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata
dalil yang berarti keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran.
Selain itu, ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena
sebagai alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al
Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.
Secara
sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu; berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini
dikaitkan dengan Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan
bedasarkan wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku
manusia yang dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua
yang beragama Islam”. Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah
peraturan yang dirumuskan secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat,
baik di dunia maupun di akhirat.
Sumber hukum Islam merupakan dasar atau referensi untuk menilai apakah
perbuatan manusia sesuai dengan syariah (ketentuan yang telah digariskan oleh
Allah SWT) atau tidak. Sumber hukum Islam yang telah disepakati jumhur
(kebanyakan) ulama ada 4 (empat), yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijmak dan Qiyas,
sebagaimana tertuang dalam QS 4:59.
“Hai orang orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil
amri (pemegang kekuasaan), diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat
tetntang sesuatu, maka lembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu,
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ayat ini
ditujukan kepada orang yang beriman untuk menaati Allah SWT, Rasul, dan
pemimpin (Ulil Amri). Taat kepada Allah dilakukan dengan cara mengikuti
perintah dan menjauhi larangan Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an. Taat kepada pemimpin (Ulil Amri) selama perintah pemimpin tersebut
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah.
Urutan prioritas pengambilan sumber hukum antara Al-Qur’an, As-Sunah, Ijmak
dan Qiyas ialah apabila terdapat suatu kejadian memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama
hendaklah dicari terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an. Apabila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, barulah beralih meneliti
As-Sunah. Bila rujukan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah, abru
dibolehkan merujuk kepada putusan dari para mujtahid yang menjadi Ijmak
(kesepakatan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari
hukumnya itu. Kalau ada, penetapan hukum merujuk kepada Ijmak tersebut.
Sekiranya tidak ditemukan rujukan Ijmak dalam masalh tersebut, maka ditempuh Qiyas,
yaitu usaha sungguh-sungguh dengan jalan membuat analogi kepada peristiwa
sejenis yang telah ada ketentuan hukum (nash)-nya, sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW:
“Bagaimana caranya kamu memutuskan perkara yang dikemukakan kepadamu?”
“Kuhukumi dengan kitab Allah”, jawabnya, “Jika kamu tidak mendapatkannya
didalam kitab Allah, lantas bagaimana?” sambung Rasulullah, “Dengan sunah
Rasulullah” ujarnya. “jika tidak kamu temukan dalam sunah Rasulullah, lalu
bagaimana?” tanya rasul lebih lanjut. “Aku akan menggunakan ijtihad pikiranku
dan aku tidak akan meninggalkannya, “ jawabnya dengan tegas. Rasulullah SAW
lalu menepuk dadanya seraya memuji, katanya : Alhamdulillah, Allah telah
memberi taufik kepada utusan rasulullah sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudzi)
A.
AL-QUR’AN
Al-Qur’an ialah kalam Allah (kalamullah-QS 53:4) dalam bahasa Arab,
sebagai sebuah mukjizat yang dirunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui utusan
Allah Malaikat Jibril a.s untuk digunakan sebagai pedoman hidup bagi manusia
dalam menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an langsung kepada Nabi Muhammad SAW melalui
utusannya Malaikat Jibril a.s, secara berangsung-angsur selama 23 tahun. Setiap
ayat yang diturunkan, kemudian dihafalkan oleh Nabi dan para sahabat, sehingga
sempurna menjadi sebuah Al-Qur’an.
Sebagian ayat Al-Qur’an turun di kota Mekkah sebelum peristiwa Hijrah, dan
sebagian yang lainnya turun di kota Madinah setelah peristiwa Hijrah. Ayat yang
diturunkan pertama kali adalah QS 96: 1-5 sedangkan ayat yang terakhir adalah
QS 5:3.
“…. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah (ayat-ayat Makkiyah), sebagian
besar menerangkan tentang Akidah Islamiyah yaitu Al-Wahdaniyah (ke-Esaan
Tuhan), keimanan terhadap para malaikat, para nabi dan hari akhir.
Ayat-ayat
yang turun di Madinah, mengandung hukum-hukum fikih, aturan pemerintahan,
aturan keluarga, serta aturan tentang hubungan antara orang-orang muslim dan
non muslim yang menyangkut perjanjian dan poerdamaian.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak
turun secara sekaligus melainkan secara berangsur-angsur. Ada dua alasan
mengapa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur.
1. Untuk menguatkan hati, berupa
kesenangan rohani (spiritual) agar Nabi selalu tetap merasa senang dapat
berkomunikasi dengan Allah, dan menghujamkan Al-Qur’an serta hukum-hukumnya di
dalam jiwa nabi dan jiwa manusia umumnya, sekaligus menjelaskan jalan untuk
memahaminya.
2. Untuk menartilkan (membaca dengan benar dan pelan) Al-Qur’an, kondisi umat saat Al-Qur’an ditiurnkan adalah ummiy,
yaitu tidak dapat membaca dan menulis, sementara Allah SWT menghendaki
Al-Qur’an dapat dihafal dan ditresapi agar secara berkesinambungan (mutawattir)
tetap terpelihara keasliannya (lestari) sampai hari kiamat. Turunnya Al-Qur’an
secara berangsur-angsur merupakan salah satu cara untuk itu, sehingga
memudahkan nabi dan para sahabat untuk menghafalnya. (QS 75: 16-19).
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al Qur’an
berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur
(mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an
diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al
Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an
merupakan sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk
berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu mengikuti segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia.
Mencari dan mengembangkan harta dan kekayaan diperbolehkan dalam Islam,
sepanjang hal itu dilaksanakan dalam koridor yang benar dan halal yaitu melalui
pekerjaan dan atau perniagaan halal yang saling rela.
Al-Qur’an
menyuruh untuk menghadirkan saksi yang jujur apada akad transaksi (QS 2:282),
dan jika akad tersebut ditangguhkan pemayarannya, maka hendaklah ditulis, untuk
menghindarkan perselisihan di kemudian hari.
Dalam menetapkan
hukum pidana, Al-Qur’an senantiasa memperhatikan empat hal, yaitu : (Zahroh,
1999)
1. Melindungi
jiwa, akal, harta benda, dan keturunan;
2. Meredam
kemarahan orang yang terluka, lantaran ia dilukai;
3. Memberikan
ganti rugi kepada orang yang terluka atau keluarganya;
4. Menyesuaikan
hukuman dengan pelaku kejahatan, yakni bila pelaku kejahatan tersebut orang
rendahan, maka hukumannya menjadi ringan.
Bahkan
pengaturan dalam melakukan muamalah dengan non muslim juga diatur dalam
Al-Qur’an.
Al-Qur’an
membagi orang kafir menjadi tiga bagian (Zahroh, 1999), yaitu :
1. Kafir
dzimmy dan mu’ahad, yaitu kafir yang telah mengikat perjanjian, sehingga
Allah SWT memerintahkan untuk bergaul dengan mereka seperti sesama muslim;
2. Kafir
musta’man, yaitu kafir yang dianggap aman/tidak membahayakan, sehingga
darah dan harta benda mereka haram (tidak boleh diganggu) sepanjang mereka
masih tetap memegang teguh perjanjian;
3. Kafir
harby (musuh), dimana Allah SWT tetap memebrikan hak-hak yang harus
dihormati atas harkat dan martabat kemanusiaan, hak persaudaraan kemanusiaan
(ukhuwah Insaniyah), hak keadilan, hak perlakuan sepadan dengan memperhatikan
keutamaan/kemaslahatan.
Dari
tuntunan tersebut diketahui bahwa Islam memperlakukan nonmuslim sangatlah adil.
Sekaligus juga membuktikan bahwa Al-Qur’an memang suatu bentuk pedoman yang
sangat lengkap dan bersifat universal.
B. AS-SUNAH
As-Sunah
ialah ucapan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah) serta
ketetapan-ketetapan (taqririyah) Nabi Muhammad SAW yang merupakan sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an.
Sunah
menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.Sedangkan sunah menurut
istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw., perbuatannya, dan
keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan
ditetapkan oleh nabi, serta nabi tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa
perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.
Selain itu, As-Sunah bisa juga membatasi ketentuan Al-Qur’an yang bersifat
umum, dan bahkan bisa menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an.
Salah satu
contoh ucapan Nabi Muhammad SAW yang dijadikan sumber hukum
Islam adalah sabda beliau yang memerintahkan untuk muali puasa Ramadhan ketika
masuk tanggal satu ramadhan dan berhenti puasa (berbuka/lebaran) karena melihat
tanggal 1 Syawal.
Contoh hukum
Islam yang merujuk kepada perbuatan nabi Muhammad SAW adalah
praktik shalat dan haji sebagaimana dicontohkan oleh beliau. Dihadapan para
sahabat, rasul menyatakan :
“ Lakukanlah shalat persisi sebagaimana kalian melihatkau mengerjakan
shalat”.
Contoh ketetapan Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan sumber hukum Islam adalah pembenaran oleh Rasul
terhadap tindakan salah seorang sahabat yang bertayamum, karena tidak menemukan
air untuk mengerjakan shalat kemudian menemukannya setelah shalat.
Berbeda
dengan Al-Qur’an yang telah ditulis pada masa Nabi, hadits lebih banyak dihafal
dari pada ditulis. Bahkan pada awalnya, Rasul melarang para sahabat untuk
mecatat hadits, karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an. Izin penulisan
hadits diberikan kepada sahabat tertentu seperti Abdullah bin Amr. Rasul juga
meminta orang yang mendengarkan hadits untuk menyampaikan dengan teliti dan
jujur kepada orang lain, seperti yang tertulis dalam hadits mutawatir berikut
ini:
“…semoga Allah menecerahkan seseorang yang mendengarkan perkataanku
kemudian dia memahaminya dengan baik dan menyampaikan sebagaimana yang ia
dengar. Boleh jadi orang yang menerima (penyampaian) itu lebih memahami
daripada orang yang mendengarkannya… “
Fungsi As-Sunah
Fungsi
As-Sunnah, antara lain:
1. Menguatkan
hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an
2. Memberikan
keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan menjelaskan rincian ayat-ayat yang masih bersifat umum
3. Membatasi
kemutlakannya
4. Menakhsiskan/mengkhususkan
keumumannya
5. Menciptakan
hukum baru yang tidak ada di dalam Al-Qur’an, contoh :
As-Sunah Sebagai Sumber Hukum
Ketaatan kepada Allah SWT harus diikuti dengan ketaatan kepada Rasul.
Sebaliknya, ketaatan kepada Rasul harus diikuti pula dengan ketaatan kepada
Allah SWT, sehingga keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
“Barang siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah SWT.
Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu) maka (ketahuilah) Kami tidak
mengutus (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka . (QS 4:80)
Kategorisasi
Sunah
Khabar atau sunah pada umumnya dapat
dikategorisasikan menjadi tiga yaitu:
1).
Khabar yang pasti kebenarannya, seperti apa yang datang dari Allah,
rasul-Nya dan khabar yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir.
2). Khabar yang pasti salahnya,
yaitu pemberitaan tentang hal-hal yang tidak mungkin dibenarkan oleh akal,
seperti khabar yang menyatakan antara hidup dan mati dapat berkumpul. Atau khabar
yang bertentangan dengan ketentuan syariat, seperti mengakui menjadi rasul,
akan tetapi tidak disertai dengan mukjizat.
3).
Khabar yang tidak dapat dipastikan benar atau bohongnya seperti
khabar-khabar yang samar, karena kadang-kadang tidak dapat ditentukan mana yang
kuat, benarnya atau bohongnya. Atau kadang-kadang kuat benarnya, tetapi tidak
pasti (qath'i), seperti pemberitaan orang yang adil. Dan kadang-kadang juga
kuat bohongnya, tetapi tidak dapat dipastikan, seperti pemberitaan orang fasiq.
C. IJMAK
Ijmak adalah kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW, terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (a’maly), dan merupakan sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunah.
Pengertian
Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu
hal. sedangkan menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam
tentang hukum syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia.
Dasar hukum ijma’ berupa aI-Qur’an,
al-Hadits dan akal pikiran.
Kedudukan
ijma’ itu secara global adalah bisa dikatakan lebih pasti dari satu ayat Al
Qur’an dan dari sebutir hadits. contohnya sholat lima waktu itu hukumnya
fardhu, kemudian ada seorang mujtahid ulama’ yang mempunyai hukum yang sama,
kemudian ada lagi yang mengatakan sama, tidak ada yang mengatakan tidak, semua
ulama’ bersepakat bahwa sholat lima waktu itu hukumnya wajib, jadi kalau sudah
ada kesepakatan seperti ini maka itulah yang dinamakan ijma’.
Dalil yang
menjadi dasar Ijmak adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :
“Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah
SWT juga baik”.
“Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
“Ingatlah, barang siapa yang ingin menempati syurga, maka bergabunglah
(ikutilah) jama’ah. Karena syaithan adalah bersama orang-orang yang menyendiri.
Ia akan lebih jauh dari dua orang, daripada dari seseorang yang menyendiri.” (HR. Umar bin Khattab)
Tingkatan Ijmak
Menurut Imam
Syafi’I tingkatan ijmak adalah sebagai berikut :
1. Ijmak
sharih ialah jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan “ hukum ini telah
disepakati “, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga mengatakan
seperti apa yang engkau katakana.
2. Ijmak
Sukuti ialah suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian
pendapat tersebut telah diketahui oleh para mujtahid di atas, akan tetapi tidak
ada seorang pun yang mengingkarinya.
3. Ijmak
pada permasalahan pokok, jika para ahli fikih (fuqaha) yang hidup dalam satu
masa (generasi) berbeda dalam berbagai pendapat, akan tetapi bersepakat dalam
hukum yang pokok, maka seseorang tidak boleh mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan pendapat-pendapat mereka.
Terjadinya Ijmak
Faktor-faktor
yang harus terpenuhi sehingga Ijmak dapat dijadikan sebagai dasar hukum adalah
sebagai berikut:
1. Pada
masa terjadinya peristiwa itu harus ada beberapa orang mujtahid
2. Kesepakatan
itu haruslah kesepakatan yang bulat
3. Seluruh
mujtahid menyetujui hukum syara’ yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.
4. Kesepakatan
itu diterapkan secara tegas terhadap peristiwa tersebut baik lewat perkataan
maupun perbuatan.
Sedangkan
untuk menjadi mujtahid, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. (Yahya
& Ftchurrahman, 1997)
1. Menguasai
ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
2. Mengetahui
nash-nash Al-Qur’an perihal hukum-hukum syari’at ynag dikandungnya, ayat-ayat
hukum, cara mengeluarkan (istimbath) hukum dari Al-Qur’an. Selain itu juga
harus mengetahui antara lain asbabun nuzul (sebab turunnya suatu ayat), tafsir
dari ayat yang hendak ditetapkan hukumnya (istimbath).
3. Mengetahui
nash-nash Al-Hadits yaitu mengetahui hukum syariat yang didatangkan oleh
Al-Hadits dan mampu mengeluarkan (sitimbath-kan) hukum perbuatan orang mukalaf
dari padanya. Disamping ia harus mengetahui derajat dan nilai hadits, seperti :
mutawattir, ahad, shahih, hasan dan dhaif juga harus mengetahui keadaan
perawinya, mana hadits yang tsiqah (terpercaya) untuk ditolak haditsnya.
4. Mengetahui
maqashidus syari’ah (tujuan syari’ah), tingkah laku dan adat kebiasaan manusia
yang mengandung maslahat dan kemudaratan.
Ijmak sebagai salah satu
sumber hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an dan As-Sunah, cara penetapan
hukumnya bukanlah hal yang mudah karena ada kriteria yang harus dipenuhi agar
hasil dari ijmak dapat dijadikan sebagai pedoman.
Alasan
menempatkan ijma’ sebagai dasar hukum setelah al-Qur'an dan Sunnah juga
dikuatkan oleh beberapa Asar sahabat Nabi Muhammmad SAW diantaranya sebagaimana
di sampaikan Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih : "Putuskanlah (perkara
itu) menurut hukum yang ada dalam Kitab Allah. kalau tidak ada (dalam
al-Qur'an), maka putuskanlah sesuai hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah SAW.
Kalau tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah SAW), putuskanlah berdasarkan hukum yang
telah disepakati oleh (ummat) manusia”. Dalam riwayat lain; "Putuskanlah
menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang-orang saleh."
Dasar lain, sebagaimana yang
dikatakan Ibn Mas'ud :
"Siapa
yang ditanya tentang (hukum) suatu masalah, seyogianya ia memberikan fatwa
berdasarkan hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalarn
al-Qur'an), maka berfatwalah menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah
SAW. Dan kalau tidak ada (dalam hadits), hendaklah berfatwa menurut hukum yang
telah disepakati oleh umat manusia (umat Islam).”
D. QIYAS
Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi, definisi
qiyas secara umum adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus
yang tidak disebutkan dalam suatu nash baik di Al-Qur’an dan As-Sunah dengan
suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena ada kesamaan dalam alasannya
(‘illat), (Syafi’ie, 2007). Hal ini sesuai dengan (QS 59:2)
“Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai wawasan”.
Pelajaran
adalah qiyaslah keadaanmu dengan apa yang terjadi.
Mengenai
qiyas ini, imam Syafi’I mengatakan : “ setiap peristiwa pasti ada kepastian
hukum dan umat Islam wajib melaksanakannya. Akan tetapi, jika tidak ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu
dengan ijtihad, melalui qiyas.”
“Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata kepada Nabi SAW: “ Hai
Rasulullah, aku melakukan sesuatu perbuatan yang besar, mencium (istri) dan
saya dalam keadaan berpuasa”. Lantas Rasulullah berkata kepadanya: “berikanlah
jawaban kepadaku, bagaimana seandainya kamu berkumur dengan air, sedang kamu
dalam keadan berpuasa?” Umar menjawab: “tidak mengapa!” kemudian Rasulullah
bersabda : “Lanjutkan puasamu”.
Qiyas dapat
dianggap sebagai sumber hukum, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut.
1. Sepanjang
mengacu dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunah, qiyas diperlukan
karena nash-nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunah itu universal dan global.
Sedangkan kejadian-kejadian pada manusia itu berkembang terus. Oleh karena itu,
tidak mungkin nash-nash (teks dalam Al-Qur’an) yang universal itu dijadikan
sebagai satu-satunya sumber hukum terhadap kejadian-kejadian yang berkembang
mengikuti zaman.
2. Qiyas
juga sesuai dengan logika yang sehat. Misalnya, orang Islam meminum minuman
yang memabukkan. Sangatlah masuk akal, bila setiap menuman memabukkan yang
diqiyaskan dengan minuman tersebut, menjadi haram hukumnya.
Argumentasi (kehujjahan) Qiyas
Tidak perlu diragukan, bahwa argumentasi jumhur ulama didasakan pada
prinsip berfikir logis, yaitu ayat Al-Qur’an dan As-Sunah.
Wahai orang-orang
yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil amri
(pemegang kekuasaan) diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunahnya) jika
kamu beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)
Ayat diatas
menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah SWT
dan Rasul (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya
menyelidiki tanda-tanda kecendrungan; apa seungguhnya yang dikehendaki Allah
SWT dan RAsul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari ‘illat hukum, yang
dinamakan Qiyas.
Dari keempat
sumber hukum tersebut diatas, Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pasti
karena tidak perlu metode khusus untuk mengatakan ia adalah sumber hukum yang
harus diikuti seorang muslim, sedangkan untuk As-Sunah, penetapan agar ia
menjadi sumber hukum juga tidak diperlukan metode khusus, kecuali memerlukan
penggolongan hadits berdasarkan perawihnya seperti telah disebutkan di atas.
Untuk ijmak dan Qiyas telah dikembangkan metodologi baku untuk menetapkan suatu
hukum yang disebut sebagai ilmu Fikih. Ilmu Fikih sendiri didefenisikan sebagai
metode pengambilan/penetapan hukum tentang amal perbuatan manusia yang nashnya
tidak ada didalam Al-Qur’an dan As-Sunah tetapi didasarkan atas dasar
kesepakatan ulama. Sedangkan Ushul fikih ialah ilmu pengetahuan dari
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan
hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil (Al-Qur’an dan
As-Sunah) untuk menghasilkan hukum yang sesuai dengan syariat.
Macam-macam Qiyas
a). Qiyas Aulawi (melebihkan atau mengutamakan)
Qiyas aulawiialah qiyas yang illatnya
dapat menetapkan adanya hukum, sementara cabangnya lebih pantas menerima hukum
daripada ashal.
b). Qiyas Musawi (illat hukumnya sama)
Qiyas musawiialah qiyas yang illatnya
sama dengan illat qiyas aulawi, hanya saja hukum yang berhubungan dengan cabang
(furu‘), kedudukannya setingkat dengan hukum ashalnya.
c). Qiyas Dilalah (menunjukkan)
Qiyas
dilalahialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan hukum,akan tetapi dapat
menunjukkan adanya hukum.
d). Qiyas Syibh (menyerupai)
Qiyas
syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua pangkal dengan
illat yang lebih menyamai.Seperti budak yang mati terbunuh.
sumber :
1.
Sri nurhayati,
dan Wasilah. 2016. Akuntansi Syariah Di
Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
0 komentar:
Posting Komentar
:)